PENGUMUMAN
   
  SEKOLAH TINGGI HUKUM - YAYASAN NASIONAL INDONESIA PEMATANGSIANTAR (UNDER CONSTRUCTION)
  Buku 3
 


 


BAB-I

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

 

A.   PENGERTIAN PENYIDIK

 

          Menurut Pasal 1 butir No.1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disingkat dengan KUHAP, yang dimaksud dengan Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan.

           Dalam UU.No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 6 ayat(1) dijelaskan, yang dimaksud dengan penyidik adalah :

a.    Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

b.    Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.

dalam ayat(2) diatur syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

      Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 12 dinyatakan, jabatan penyidik dan penyidik pembantu adalah jabatan fungsional yang pejabatnya diangkat dengan Keputusan Kapolri, dan Pasal 14 ayat(1) huruf g dinyatakan, dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya, demikian juga kewenangan yang diatur dalam Pasal 16 dibidang proses pidana. 

            Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30 ayat (1) huruf d dinyatakan, di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang. Dalam penjelasan pasal tersebut salah satu kewenangan penyidik kejaksaan adalah dalam penanganan Pemberantasan Korupsi, dan kewenangan penyidikan Kejaksaan juga diatur dalam Pasal 284 ayat(2) KUHAP jo. PP. No.27 Tahun 1983 dan Tap MPR RI No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN jo. Instruksi Presiden RI No.30 Tahun 1998 tentang Pemberantasan KKN dan dalam UU.No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN. Pasal 1, Pasal 12, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 Pasal 21 dan Pasal 22.

            Penyidik Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam UU. No. 20 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu dalam Pasal 21 ayat (4), dinyatakan, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum. Kemudian dalam Pasal 6 Undang-undang tersebut juga diatur tugasnya yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

            Selain penyidik Polri, Kejaksaan dan KPK yang disebutkan di atas, adalagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil(PPNS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat(2) UU.No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, namun yang dibahas dalam tulisan ini hanya lingkup penyidik di lingkungan Polri, Kejaksaan dan KPK saja.                   

Berdasarkan peraturan-peraturan di atas, maka di Indonesia hanya 3(tiga) institusi  penegak hukum yang punya kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.

 

B.   PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

1.    Memulai penyidikan

         Dalam memulai penyidikan tindak pidana, baik dalam tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus termasuk korupsi didasarkan pada :

a.    Laporan atau pengaduan

b.    Pemberitaan pers

c.    Tertangkap tangan

Menurut Achmad Junaedi mantan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, dalam bukunya pedoman untuk para jaksa halaman 3, menulis perbedaan antara apa yang dimaksudkan dengan laporan dan apa yang dimaksudkan dengan pengaduan, beliau menulis sebagai berikut :

1.    Pengaduan berisi bukan saja laporan akan tetapi juga permintaan supaya yang melakukan tindak pidana dituntut.

2.    Laporan dapat diajukan sembarang waktu, pengaduan hanya dalam waktu tertentu saja.

3.    Pengaduan dapat ditarik kembali, laporan tidak.

4.    Laporan dapat dilakukan oleh setiap orang, pengaduan hanya oleh orang-orang tertentu yang disebut dalam undang-undang dan dalam kejahatan tertentu saja.[1]

           Problema demikian itu nampaknya sangat dipengaruhi oleh bunyi Pasal 74 dan 75 KUHP, ialah kedua pasal yang sebenarnya mengatur tentang cara pengaduan di dalam suatu peristiwa pidana yang disebut delik aduan. Jika demikian, maka pengertian pengaduan lalu menjadi sempit karena terbatas pada delik aduan saja. Mari kita perhatikan kasus berikut ini :

Si A mengemukakan sebuah surat kepada badan penegak hukum, isinya menghendaki tindakan tegas terhadap B oleh karena B telah memperkosa gadis kecil usia 15 Tahun bernama C ialah anaknya pelapor. Surat itu disertai tandatangan Asebagai pelapor. Apakah surat A itu suatu laporan ataukah suatu pengaduan ? penulis lebih mirip untuk menjawab bahwa surat A itu adalah suatu laporan berisi pengaduan. Ia melaporkan bahwa sesuatu peristiwa pidana telah terjadi dan ia menghendaki pula agar penegak hukum mengambil tindakan tegas terhadap pelaku. Oleh karena itu maka penulis lebih condong untuk menyebut bahwa setiap pengaduan mengandung arti laporan dan sebaliknya setiap laporan tidak selalu berbentuk pengaduan.[2]

          Dalam beberapa Undang-undang tentang tindak pidana di luar KUHP dan demikian juga dalam beberapa pasal dalam KUHP mengatur tentang Delik Aduan, oleh karena itu penulis menguraikan tentang delik aduan. Hukum pidana membedakan Delik Aduan yaitu Delik Aduan Absolut dan Delik Aduan Relatif.

          Yang dimaksud dengan Delik Aduan Absolut adalah suatu peristiwa pidana dimana penuntutannya hanya dapat dilakukan berdasarkan pengaduan dari yang dirugikan. Tanpa pengaduan penyidik tidak dapat melakukan penyidikan terhadap perkaranya, contonya Pasal 284, Pasal 287, Pasal 293 dan Pasal 310 KUHP, sedangkan Delik Aduan Relatif adalah suatu peristiwa pidana bukan delik aduan tetapi perbuatan itu dilakukan oleh kalangan keluarga, kemudian delik itu menjadi delik aduan. Contohnya Pasal 367, Pasal 370 dan Pasal 376 KUHP.  

          Bagaimana dengan kasus korupsi apakah termasuk delik aduan atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 74 dan 75 KUHP dan Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, bahwa kasus korupsi bukan merupakan delik aduan, sehingga tanpa ada aduan, penyidik dapat langsung menangani perkara tersebut. penyidikan dapat melakukan penyidikan hanya didasarkan pada laporan dari siapa saja dan dapat pula berdasarkan pemberitaan media dan dalam hal tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi, seperti penyuapan terhadap pejabat negara agar melakukan atau tidak melakukan yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannya.

          Bila ada orang melaporkan bahwa telah terjadi kasus korupsi melalui surat kaleng atau surat tanpa identitas lengkap, apakah penyidik dapat menjadikan surat kaleng itu sebagai dasar untuk memulai penyidikan ?. walaupun laporan yang diterima penyidik berdasarkan surat kaleng menyatakan ada terjadi kasus korupsi, dalam teknik penyidikan dapat dijadikan dasar memulai penyidikan, di mana penyidik pertama-tama menelaah kebenaran isi surat kaleng tersebut, sepanjang surat kaleng itu mengandung suatu kebenaran bahwa telah terjadi korupsi, maka penyidik dapat melakukan penyidikan tanpa menyelidiki siapa pengirim surat kaleng tersebut, karena dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor : 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 6 ayat (1), dinyatakan, Penegak Hukum atau Komisi wajib merahasiakan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor atau isi informasi, saran atau pendapat yang disampaikan.

 

2.    Tenggang waktu penyidikan

          Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ada mengatur secara tegas tentang tenggang waktu atau limit waktu melakukan penyidikan tindak pidana. Dalam Pasal 110 ayat (1) KUHAP hanya dinyatakan, dalam hal penyidik trelah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum, kemudian dalam ayat (4) dinyatakan, penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidk. Dari ketentuan ini tidak ada mengatur secara tegas limit waktu proses penyidikan.

          Penanganan kasus korupsi baik oleh penyidik polri, kejaksaan dan KPK juga tidak ada mengatur secara tegas limit waktu proses penyidikan kasus korupsi, misalnya waktu 4 bulan, namun dalam ketentuan Pasal 25 UU.No.31 Tahu 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dirubah dengan UU.No.20 Tahun 2001, dinyatakan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna pnyelesaian secepatya. Demikian juga dalam Instruksi Presiden RI No.5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.          

           Pelaksanaan proses penyidikan tindak pidana korupsi oleh ketiga institusi penyidik tersebut terdapat beberapa perbedaan sistem dan mekanisme serta kewenangan dalam proses penyidikan oleh masing-masing penyidik, hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang tentang Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kejaksaan dan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, antara lain, mengenai kewenangan penyidik melakukan tindakan penyitaan, penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan prosedur penyerahan berkas perkara. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat diuraikan di bawah ini :

 

a.                                  Penyidikan Polri

          Dalam melakukan penyidikan kasus korupsi oleh polri, sama prosesnya seperti menangani perkara tindak pidana umum, yaitu pertama-tama penyidik menerima laporan tentang terjadinya tindak pidana korupsi di suatu instansi pemerintah atau dari hasil penyelidikan penyidik Polri bahwa ada terjadi tindak pidana korupsi atau dalam hal tertangkap tangan melakukan korupsi seperti suap, maka penyidik polri membuat Laporan Polisi, dimana dalam laporan polisi tersebut memuat uraian singkat peristiwa pidananya serta ketentuan Undang-undang yang dilanggar oleh pelaku.

          Setelah adanya Laporan Polisi, lalu penyidik melakukan tindakan penyelidikan dengan cara melakukan pemanggilan pihak-pihak terkait yang berhubungan langsung dengan kasus yang terjadi. Untuk memenuhi alat-alat bukti yang sah sebagaimana dalam Pasal 184 ayat(1) KUHAP, pertama-tama penyidik memanggil saksi-saksi yang mengetahui, melihat atau yang mengalami tindak pidana tersebut, kemudian apabila terdapat bukti permulaan yang cukup, maka penyidik dapat memanggil atau menangkap tersangka pelaku tindak pidana korupsi, namun harus diperhatikan juga tentang peraturan  yang mengatur bagaimana prosedur pemanggilan dan penangkapan atau penahanan terhadap pelaku, karena pada umumnya pelaku korupsi itu terjadi dalam jabatan yang dilakukan oleh Pegawai Negeri atau dengan yang disamakan sebagai Pegawai Negeri.

           Kalau penyidik telah melakukan tindakan penyidikan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat(1) KUHAP, penyidik wajib memberitahukan tindakan penyidikan tersebut kepada penuntut umum yang dikenal dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan disingkat SPDP. Apabila dalam proses penyidikan tidak terdapat cukup bukti maka penyidikan dihentikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP, hal tersebut dilakukan agar ada kepastian hukum bagi tersangka, dan sebaliknya bila hasil penyidikan/ pemeriksaan terhadap tersangka diperoleh cukup bukti, maka penyidik dapat melakukan penahanan terhadap tersangka sepanjang memenuhi syarat dan alasan penahanan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 KUHAP, selanjutnya penyidik mengirimkan berkas perkaranya ke Kejaksaan berdasarkan ketentuan Pasal 110 KUHAP.

          Dalam proses penyidikan oleh Polri, Kejaksaan dan penyidik KPK ada terdapat perbedaan kewenangan dan prosedur proses penyidikannya, khususnya dalam hal tindakan penyitaan, penggeledahan dan sistem serta mekanisme penyerahan berkas perkara. Dimana penyidik Polri dalam hal melakukan penyitaan, hanya boleh melakukan penyitaan apabila ada surat Izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam hal tertangkap tangan dapat melakukan penyitaan tanpa ada surat Izin dari Ketua pengadilan Negeri setempat, cukup dilengkapi dengan Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penyitaan, tindakan tersebut diatur dalam Pasal 38 KUHAP, begitu juga untuk melakukan penggeledahan rumah dan badan harus ada surat Izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam hal tertangkap tangan, hal ini diatur dalam Pasal 32 dan Pasal 33 KUHAP.  Sedangkan dalam prosedur penyerahan berkas perkara hasil penyidikan dikirim atau diserahkan ke Kejaksaan Negeri setempat, artinya berkas perkara diserahkan kepada institusi lain, tidak satu atap seperti kewenangan yang dimiliki oleh kejaksaan dan KPK.

 

b.                                  Penyidikan Kejaksaan

Penyidik kejaksaan dalam melakukan penyidikan kasus korupsi sama prosesnya dengan yang dimiliki oleh Polri mulai proses penyelidikan, penyidikan ( pemanggilan, penyitaan, penggeledahan penangkapan dan penahanan ), pemberkasan dan penyerahan berkas perkaranya. Hanya saja perbedaannya dalam penyidikan yang dilakukan oleh  Kejaksaan, dimana penyidik dan penuntut umumnya sama-sama satu atap dari institusi tersebut, dan penyidiknya maupun penuntut umumnya di bawah kendali Kepala Kejaksaannya, artinya penyidik dan penuntut umumnya di bawah perintah kepada kepala kejaksaannya.

Penyidik kejaksaan memulai penanganan kasus korupsi sama dengan prosesnya seperti yang dilakukan penyidik Polri yaitu menerima Laporan tentang terjadinya kasus korupsi atau dari hasil penyelidikan pihak kejaksaan ada terjadi korupsi di suatu instansi pemerintah atau dalam hal tertangkap tangan, misalnya kasus suap, kemudian penyidik kejaksaan membuat Laporan tentang terjadinya tindak pidana korupsi yang ditujukan kepada kepala kejaksaannya. Dasar laporan inilah penyidik kejaksaan melakukan penyelidikan.  Untuk memenuhi alat-alat bukti yang sah sebagaimana dalam Pasal 184 ayat(1) KUHAP penyidik melakukan tindakan dengan cara memanggil saksi-saksi yang mengetahui, melihat atau yang mengalami tindak pidana yang terjadi. Kemudian apabila terdapat bukti permulaan yang cukup maka penyidik kejaksaan dapat memanggil atau menangkap tersangkanya, namun harus diperhatikan juga peraturan yang mengatur proses pemanggilan dan penahanan terhadap pelaku, karena pada umumnya pelaku adalah Pegawai Negeri Sipil atau yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri. Karena menurut KUHAP penyidik sudah mulai melakukan penyidikan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat(1) KUHAP tindakan penyidikan tersebut harus diberitahukan oleh penyidik kepada penuntut umum,  bila hasil penyidikan terhadap tersangka terdapat bukti yang cukup maka terhadap tersangka dapat dilakukan penahanan berdasarkan ketentuan Pasal 21 KUHAP. Sedangkan proses penyelesaian berkas perkara hingga penyerahan ke penuntut umum tetap mengacu pada ketenuan Pasal 110 KUHAP, dan sebaliknya bila dari hasil penyidikan tidak terdapat cukup bukti maka berdasarkan Pasal 109 ayat(2) dan ayat(3) KUHAP maka penyidikan dihentikan.

Dalam hal melakukan tindakan penyitaan dan penggeledahan Penyidik kejaksaan  tetap mengacu pada aturan dalam KUHAP yaitu Pasal 33 dan Pasal 38, sama halnya dengan dasar hukum yang dimiliki oleh penyidik Polri, hanya saja mengenai penyerahan berkas perkara hasil penyidikan tidak diserahkan kepada institusi lain, melainkan diserahkan kepada penuntut umumnya melalui kepala kejaksaan, dan kepala kejaksaan akan menetapkan atau menghunjuk  penuntut umum untuk menangani perkara hingga ke persidangan. Instansi penyidik dan penuntut umumnya dalam satu atap, seperti kewenangan yang dimiliki oleh KPK, artinya, penyidik dan jaksa penuntutnya sama-sama dari institusi kejaksaan itu sendiri, bahkan ada, dia penyidiknya dan  dia pula sebagai penuntut umumnya.

Menurut penulis, kewenangan jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum dalam instansi yang sama satu atap, sangat diragukan independensinya dalam melakukan tugas penyidikan maupun penuntutan, dan dikhawatirkan adanya intervensi dari pimpinannya yang dapat mempengaruhi  kinerja penyidik maupun penuntut umumnya karena sama-sama bawahan dari kepala kejaksaannya, karena pimpinan penyidik dan penuntut umumnya hanya satu yakni Kepala Kejaksaan. Dalam hal ini demi tercapainya penanganan perkara korupsi secara independensi tidak ada intervensi dan atasan penyidik dan penuntut umumnya.

 Bahwa tugas jaksa cukup sebagai penuntut umum saja, penyidiknya hanya penyidik polri seperti dalam hukum acara dahulu yaitu H.I.R, dimana Polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum, sedangkan jaksa hanya sebagai peneliti prapenuntutan atau penuntut saja terhadap berkas perkara yang diterimanya dari penyidik, dan bertindak sebagai penuntut umum untuk membuat menyusun surat dakwaan dan mengajukan perkaranya ke pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Karena harus diakui bahwa polri latar belakang pendidikannya sejak berdiri polisi negara di Indonesia sudah dididik sebagai penyidik secara profesional dalam menangani semua tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi. Demikian juga jaksa harus diakui pula latar belakang pendidikannya adalah sebagai penuntut umum mendakwa seorang terdakwa secara profesional.

 

c.    Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Penyidik KPK dalam melakukan penyidikan tidak jauh beda dengan proses yang dilakukan oleh penyidik Polri dan Kejaksaan, ketentuan yang mengatur KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan telah diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 52 UU.No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 52 tersebut tidak ada mengatur tentang bagaimana proses penyidikan pemanggilan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan pemberkasan, oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 38 Undang-undang tersebut maka berlaku sebagai dasar penyidikan oleh KPK UU.No.8 Tahun 1981 tentang KHUAP yang mengatur tentang penyidikan.

Namun dalam Pasal Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut ada ketentuan yang menyimpang dari KUHAP, antara lain tentang penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri, kemudian penghentian penyidikan tidak ada diatur kewenangan KPK. Masalah bukti permulaan yang cukup dianggap ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2(dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik. Berbeda dengan bukti permulaan yang cukup menurut Pasal 184 ayat(1) KUHAP yang mengenal hanya 5(lima) alat bukti yang sah yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, tidak masuk informasi atau data seperti yang diatur dalam Pasal 44 ayat(2) UU.No.30 Tahun 2002 tentang Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

            Dalam Pasal 52 ayat(1) UU.No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan, Penuntut umum setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri. Dari ketentuan pasal ini hanya mengatur penerimaan berkas dari penyidik, tidak ada mengatur proses pelimpahan berkas perkara seperti yang dilakukan oleh penyidik Polri dan Kejaksaan, namun bila hal itu tidak diatur bagaimana proses penyidikan dan pelimpahan berkas perkara, jawabnya, bahwa penyidik KPK harus tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 109 dan Pasal 110 KUHAP sesuai dengan aturan dalam Pasal 38 UU.No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

           Penyidik KPK  melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi khususnya dalam tindakan penyitaan dan penyerahan berkas perkara hasil penyidikan, terdapat perbedaan kewenangan dengan yang dimiliki oleh penyidik polri dan kejaksaan, yaitu  dalam hal tindakan penyitaan, dimana penyidik KPK melakukan penyitaan tidak terlebih dahulu meminta surat Izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, karena menurut ketentuan Pasal 47 ayat(1) UU.RI. No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan, atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya, dan dalam ayat(2) secara tegas juga dinyatakan, ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-undang ini.

Dari ketentuan pasal tersebut, maka ketentuan dalam UU.No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang mengatur tentang penyitaan tidak berlaku bagi penyidik KPK. Kemudian perbedaan sistem dan mekanisme yang lain yaitu dalam penyerahan berkas perkara dilakukan dalam satu atap di institusi KPK itu sendiri, sama halnya dengan prosedur yang dimiliki oleh kejaksaan,  semua hasil penyidikan dan penuntutannya di bawah kendali pimpinan KPK.

Selain perbedaan kewenangan tersebut, Kemudian perbedaan lain yang dimiliki oleh penyidik KPK yaitu mengenai penghentian penyidikan. Dalam hal penghentian penyidikan oleh penyidik KPK tidak ada diatur kewenangannya untuk melakukan penghentian penyidikan, hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 40 UU.No. 20 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. Oleh karena itu harus dituntut profesionalisme penyidik KPK dalam melakukan tugas penyidikan, dan harus serba hati-hati untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Bila dicermati ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang kewenangan penyidikan yang dimiliki ketiga institusi penyidik tersebut yakni polri, kejaksaan dan KPK, maka timbul pertanyaan, peraturan mana sebenarnya yang lebih tepat dipertahankan yang mengatur  tentang kewenangan  penghentian penyidikan tersebut, apakah UU.No.20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau aturan yang ada  dalam KUHAP.

Menurut penulis, seharusnya penyidik KPK diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan seperti kewenangan yang dimiliki penyidik Polri dan Kejaksaan sebagaimana diatur dalam KUHAP, karena  Penyidik KPK adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan atau kesalahan dalam melakukan tindakan penyidikan. Selama ini dalam praktiknya, jika perkara yang disidik sudah berjalan ternyata hasil penyidikan tidak cukup bukti, maka perkara tetap dilanjutkan ke tingkat penuntutan hingga ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi(Tipikor), walaupun  nanti akhirnya terdakwa divonis bebas, namun di tengah-tengah masyarakat terhadap terdakwa akan ada suatu stigma bahwa terdakwa tersebut sebagai seorang koruptor, apalagi terdakwanya selama dalam proses penyidikan sampai perkara di sidang pengadilan dalam status tahanan. 

Bahwa bila dilihat kewenangan dari ketiga institusi penyidik tersebut, kewenangan penyidik KPK jauh lebih luas dan kecepatan bertindak khususnya dalam melakukan tindakan penyitaan dan penggeledahan, bila dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh penyidik polri dan kejaksaan, dimana penyidik polri an kejaksaan  wajib mengikuti aturan dalam UU.No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Sedangkan mengenai tindakan penggeledahan oleh penyidik KPK tidak ada diatur tentang izin dari Ketua Pengadilan Negeri dalam UU No.20 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, oleh karena itu dalam melakukan tindakan penggeledahan penyidik KPK seharusnya tetap mengacu pada ketentuan UU.No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.

Bagaimana selama ini tindakan penyidik KPK dalam melakukan penyitaan tanpa Izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, apakah ada pihak tersangka atau pemilik barang yang menaruh keberatan, dan apakah tindakan-tindakan penyitaan  tersebut sudah benar dan tepat sasaran tidak melanggar hak-hak tersangka atau pihak lain selaku pemilik barang yang akan disita?.

Dapat  kita lihat di media elektronik dan media cetak bahwa ada sebagian menaruh keberatannya terhadap tindakan penyitaan oleh penyidik KPK yang dirasa merugikan, contohnya dalam kasus mantan Hakim Syarifuddin, yang keberatan terhadap tindakan penyidik KPK yang melakukan penggeledahan dan penyitaan barang di dalam rumahnya, dianggap tindakan penyidik KPK tersebut tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, lalu yang bersangkutan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri setempat hingga perkaranya sampai ke Mahkamah Agung RI, dan ternyata perkara dimenangkan oleh mantan hakim tersebut karena  dinyatakan majelis hakim bahwa tindakan penyitaan tidak sah.

Dari contoh kejadian tindakan penyitaan dan penggeledahan oleh institusi KPK tersebut, penulis berpendapat, perlunya diatur tentang ijin penyitaan dan penggeledahan dalam UU.RI.No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga setiap dalam melakukan penyitaan dan penggeledahan harus ada terlebih dahulu izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam hal tertangkap tangan, seperti kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik Polri dan Kejaksaan sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Undang-undang tentang Kepolisian Negara RI dan Undang-undang tentang Kejaksaan. Siapa pun dia sebagai warga negara Indonesia termasuk penulis tetap komitmen dan mendukung kinerja penyidik KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, karena perbuatan korupsi sudah kejahatan luar biasa (Extra ordinary crimes) dan penanganannya juga harus luar basa, namun dalam proses penanganan perkara korupsi tidak boleh melanggar hukum dan hak asasi tersangka atau terdakwa, demikian juga hak asasi pihak lain yang ada kaitanya dengan proses penyidikan.

 

C.   SISTEM PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman. Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya(berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus dipersempit artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan  sentence atau veroordeling.[3]

Tujuan dari pemidanaan pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu : a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri, b. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan,dan c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.[4]

      Sumber hukum dalam pemidanaan tindak pidana korupsi ada 2(dua) yaitu :

a.    Sumber hukum materiel

Dalam sumber hukum materiel ini terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

 

b.    Sumber hukum formil

Sumber hukum formil ini terdapat pada Undang-Undang  nomor 8 Tahun 1981 dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002  Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pemidanaan dalam perkara tindak pidana korupsi terdapat beberapa asas yakni :

1.    Bersifat kumulasi dari beberapa ketentuan yang mengatur ancaman pidana yang sifatnya bentuk kumulasi dan alternatif, terdiri dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 UU.No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, dikenal dengan double track system.

2.    Mengatur ancaman pidana antara minimum dan maksimum yaitu ancaman pidana antara 1 tahun sampai dengan 20 tahun dan ancaman pidana denda antara Rp 50.000.000,(lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp.1.000.000.000,(satu miliar rupiah).

 

3.    Mengenai pidana tambahan, yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan dalam Pasal 18 UU.No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai perampasan dan pembayaran uang pengganti.

Dalam Pasal 18 ayat(3) dinyatakan, dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokok. Ahliwaris tersangka atau terdakwa atau terpidana korupsi dapat digugat oleh pemerintah untuk membayar kerugian negara, hal ini diatur dalam Pasal 35 ayat(1) UU.No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian dapat dilakukan pidana tambahan perampasan terhadap barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan-perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Kewenangan ini diatur dalam Pasal 18 ayat (1) U.No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dirubah dengan UU.No.20 Tahun 2001.

Bagaimana pula bila barang milik pihak ketiga dirampas, tetapi belum dilelang,  apa langkah yang dilakukan oleh pemilik barang ? hal ini diatur dalam UU.No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dirubah dengan UU.No.20 Tahun 2001, dalam Pasal 19 ayat.

 

(1)      Putusan Pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan apabila hak-hak pihak ketiga yang beretikad baik akan dirugikan.

(2)      Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) termasuk juga barang-barang pihak ketiga yang mempunyai etikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu paling lambat 2(dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum.

(3)    Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) tidak menangguhkan  atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.

 (4) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), hakim meminta keterangan penuntut umum dan pihak yang berkepentingan.

 (5)   Penetapan hakim atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pemohon atau penuntut umum.

Bagaimana pula bila hakim menerima keberatan pihak ketiga selaku pemilik barang, padahal barang telah dieksekusi lelang, apakah barang diganti ? menurut hemat penulis, berdasarkan ketentuan Pasal 19 tersebut, Negara wajib mengganti barang pihak ketiga sebesar kerugian  barang yang telah dilelang tersebut. Karena pada prinsipnya setiap putusan pengadilan harus adil tidak boleh merugikan pihak yang beritikad baik.

Perampasan harta terhadap terdakwa yang meninggal dunia dapat dilakukan berdasarkan UU.No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dirubah dengan UU.No.20 Tahun 2001, Pasal 38 ayat(5) dinyatakan, Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan jaksa/penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita, dan dalam ayat(6) dinyatakan, Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), tidak dapat dimohonkan upaya banding.

Selain penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 16, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang diatur dalam Pasal 18 ayat(1) huruf b, dinyatakan, pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Bila uang pengganti tidak dibayar, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, hal ini dengan tegas telah diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU.No.31 Tahun 1998 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan telah dirubah UU.No.20 Tahun 2001. 



                     [1] Gerson W.Bawengan, Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi, 1977, PT.Pradnya Paramita, Jakarta, halaman 18

                     [2] Ibid, halaman 19

[3] P.A.F. Lamintang, Hukum Panitensier Indonesia, 1984, CV.Armico, Bandung, halaman 49

[4] ibid halaman 29



BAB II

 

     FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

ATAS PERINTAH JABATAN

 

A.   FAKTOR PENYEBAB PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

 

Korupsi secara harafiah berarti kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, kecurangan, tidak bermoral, penyimpangan yang merugikan keuangan Negara.

            Korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi dan perbuatan – perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum. Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah Korupsi di bidang politik dapat terwujud berupa manipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimasi, paksaan dan/atau campur tangan yang dapat mempengaruhi kebebasan memilih komersialisasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif di bidang pelaksanaan pemerintah. [3]

 

            Menurut NURCHOLIS MADJID, "Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang biasanya dilakukan perangkat kekuasaan, lebih jauh lagi korupsi adalah kejahatan yang membangun sistem sehingga orang yang berinteraksi dengan sistem yang korupsi, hampir pasti akan terkontaminasi. Perkataan korupsi mengandung makna dasar rusak total dalam karakter tidak normal, curang, jahat, dan tidak jujur (immoral, pervese, vernal, dis-honest) Disinilah berlaku dalil Crime by the best the worst kejahatan yang dilakukan orang – orang terbaik adalah yang terburuk".[4]

            Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali kemungkinan besar akan membawa bencana, tidak saja terhadap kehidupan keuangan negara, perekonomian nasional, dan menghambat pembangunan nasional, melainkan juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Di samping itu tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu sekarang tindak pidana korupsi tidak dapat lagi dikategorikan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa. Begitu juga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara yang biasa pula, termasuk putusan Pengadilan yang harus setimpal agar mempunyai efek jera, sehingga akan terlihat efektivitas hukum dan Undang-undang yang ada relevansinya dengan tindak pidana korupsi tersebut.[5]

 

 

Menurut sifatnya (motifnya) korupsi dapat dibagi 2 (dua) yaitu :

 

a.    Korupsi yang bermotif terselubung, korupsi seperti ini ialah korupsi yang sepintas lalu kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapat uang semata–mata. Contoh, seorang pejabat menerima suap dengan janji akan berusaha agar seorang (sipemberi suap) berhasil dapat dipilih untuk jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau diangkat dalam suatu jabatan. Tetapi kenyataannya setelah ia menerima suap, ia tak memperdulikan lagi janjinya itu kepada orang yang memberikan suap tersebut yang pokok ialah mendapatkan uang tersebut.

b.    Korupsi yang bermotif ganda yaitu seorang melakukan korupsi yang secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya mempunyai juga motif lain yakni motif kepentingan politik. Contohnya, seorang yang membujuk dan menyogok seorang pejabat agar dengan penyalahgunaan kekuasaannya, pejabat itu mengambil keputusan memberikan sesuatu fasilitas kepada sipembujuk itu, meskipun sesungguhnya sipembujuk (penyogok) hasil kepadanya yang pokok ialah dapatnya sipejabat menyalahi kewajibannya dengan cara memberikan fasilitas tersebut, sehingga dengan perbuatannya yang tercela itu mudahlah juga sipejabat itu jatuh dari jabatannya.[6]

 

 

 

 

      Menurut Andi Hamzah, penyebabnya terjadinya Korupsi adalah :

1.    Kurangnya gaji pendapatan Pegawai Negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.

2.    Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya Korupsi.

3.    Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efesien.

4.    Penyebab korupsi ialah Modernisasi.

 

Modernisasi membawa perubahan–perubahan pada nilai dasar atas masyarakat.

 

a.    Modernisasi membuka sumber–sumber kekayaan dan kekuasaan baru.

b.    Modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bidang kegiatan sistem public.[7] 35

 

      Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah :

a.    Lemahnya pendidikan Agama dan Etika.

b.    Kolonialisme. Suatu Pemerintahan Asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

c.    Kurangnya Pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus–kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan Intelektual yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat.

 

d.    Kemiskinan. Pada  kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat.

e.    Tidak adanya sanksi yang keras.

f.     Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi.

g.    Struktur pemerintah.

h.    Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi  muncul sebagai suatu penyakit transisional.

i.      Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.

 

            Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan Intelektual para pemimpin masyarakat.[8]

 

            Berdasarkan Undang Undang Nomor  31 tahun 1999 jo. Undang–Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap orang yang melakukan korupsi akan dikenakan sanksi pidana.

            Dalam Undang Undang No. 31 tahun 1999 subjek delik terbagi dalam dua kelompok, kedua subjek atau pelaku delik itu adalah :

1.    Manusia

2.    Korporasi

3.    Pegawai Negeri, dan

4.    Setiap orang.

 

 

Ad. 1. Subjek Manusia

   Manusia berarti adalah orang bukan binatang, subjek manusia seringkali dirumuskan dengan kata barang siapa seperti dalam Pasal 362 KUHPidana atau setiap orang seperti dalam Pasal 2, 3, 16 Undang Undang No. 31 tahun 1999. Jadi pada prinsipnya kata-kata setiap orang adalah orang atau mereka yang bukan Pegawai Negeri.

 

Ad. 2. Subjek Korporasi

   Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 ayat (1) Undang Undang No. 31 tahun 1999 ) seperti Yayasan, Koperasi, Partai Politik.

 

Ad .3. Subjek Pegawai Negeri

   Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang Undang No. 31 tahun 1999 pengertian Pegawai Negeri meliputi :

a.    Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang tentang Kepegawaian.

b.    Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

c.    Orang yang menerima gaji atau upah dari Keuangan Negara atau Daerah.

d.    Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari Keuangan Negara atau Daerah.

e.    Orang yang menerima gaji atau upah dari Korporasi lain yang mempergunakan modal dan fasilitas dari negara atau masyarakat.

 

 

 

Ad  4. Subjek Setiap Orang.

            Setiap orang adalah orang perseorangan atau individu – individu atau termasuk korporasi.[9]

            Selain pengertian Pegawai Negeri dalam Undang Undang No. 31 tahun 1999, ada juga diatur mengenai pengertian Pegawai Negeri dalam Pasal 92 KUHP dan Undang  Undang No. 43 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang  Undang No. 8 tahun 1974 tentang pokok kepegawaian. Dalam hal ini apakah ketentuan dalam Undang–Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berlaku juga bagi perumusan–perumusan delik yang berasal dari KUHP ?

            Dari pertanyaan di atas menurut Andi Hamzah, jika kita berpendapat bahwa ketentuan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berlaku bagi perumusan–perumusan delik yang berasal dari KUHP itu berarti tidak memperluas subjek delik korupsi, sebaliknya, jika kita berpendapat bahwa berlaku juga, artinya memperluas pula pengertian Pegawai Negeri dalam perumusan–perumusan KUHP, berarti sangat memperluas subjek delik korupsi.[10]

 

B.   PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.

            Mengenai apa yang dimaksud dengan menyalahgunakan kewenangan tidaklah ada keterangan lebih lanjut dalam Undang-undang. Kewenangan hanyalah dimiliki oleh subjek hukum orang pribadi, dan tidak untuk badan hukum atau korporasi.

 

Kewenangan erat hubungannya dengan jabatan atau kedudukan yang dimiliki oleh seseorang, berarti secara terselubung subjek hukum orang lain tidak berlaku untuk semua orang, tetapi hanya berlaku bagi orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu. Orang yang dimiliki jabatan atau kedudukan, terutama kedudukan pegawai negeri. Tetapi apakah yang dimaksud dengan jabatan atau kedudukan ini adalah jabatan atau kedudukan publik yang ada pada kualitas Pegawai Negeri saja, tidak ada keterangan dalam Undang–undang, oleh karena itu harus diartikan termasuk orang yang memiliki jabatan atau kedudukan dalam hubungan privat, misalnya seorang Direktur suatu Perusahaan Terbatas (PT). orang yang dimiliki suatu jabatan atau kedudukan karena jabatan atau kedudukan itu dia memiliki kewenangan atau hak untuk melaksanakan perbuatan – perbuatan tertentu dalam hal utnuk melaksanakan tugas–tugas pekerjaannya. Kepemilikan kewenangan sering ditimbulkan oleh ketentuan/hukum maupun karena kebiasaan. Bila kewenangan ini digunakan secara salah satu untuk melakukan perbuatan tertentu, inilah yang disebut menyalahgunakan kewenangan. Jadi menyalahgunakan kewenangan dapat didefinisikan sebagai melakukan perbuatan oleh orang yang sebenarnya berhak untuk melakukannya, tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal yang salah yang bertentangan dengan hukum atau kebiasaan.

Sebagai contoh : Seorang Polisi Penyidik karena jabatannya, dia memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan (Pasal 7 KUHAP), Polisi memiliki jabatan sebagai penyidik ini telah menyalahgunakan kewenangan bilamana dia menangkap dan menahan seorang musuh yang dibencinya yang dia ketahui tidak melakukan kejahatan apapun. Contoh lain : Seorang Kepala Personalia suatu Kantor Publik memiliki kewenangan untuk mengangkat pegawai, mengangkat anaknya sendiri tanpa melalui prosedur dan tidak memenuhi syarat yang berlaku, seharusnya anaknya itu tidak dapat diangkat sebagai pegawai, merupakan perbuatan menyalahgunakan kewenangan, dan ini tentu merugikan Negara.[11]

            Menyalahgunakan dapat ditafsirkan orang dimaksud adalah seorang pejabat yang memiliki suatu kekuasaan, yang perbuatan itu dilakukan dengan melawan hukum atau dengan kata lain : ia dengan wewenangnya "berlindung" dibawah kekuasaan hukum. Selanjutnya unsur menyalahgunakan kewenangan tidak hanya terdapat dilapangan perdata saja, akan tetapi juga dalam lapangan hukum publik.[12]

            Penyalahgunaan hak terjadi seseorang menggunakan haknya dengan cara yang bertentangan dengan tujuan untuk mana hak itu diberikan. Lebih–lebih lagi disebut penyalahgunaan hak apabila seseorang menggunakan haknya semata–mata dengan maksud hendak merugikan orang lain.[13]

            Pribadi yaitu setiap pendukung hak–hak, karena ia mempunyai kewenangan mendukung hak–hak itu, oleh karena itu pribadi itu sesuatu yang mempunyai kewenangan, dan kewenangan hukum adalah kecakapan untuk menjadi pendukung dari hak–hak, menjadilah suatu persoalan, apakah tiap–tiap manusia dapat melakukan sendiri wewenangnya itu ? hal ini belum tentu, sebab setiap orang dapat tidaknya bertindak sendiri itu ditentukan apakah setiap orang dapat bertindak dengan tanpa merugikan dirinya. Sebagai misal orang yang sakit berubah akal terhadap orang–orang ini, mungkin sekali dalam melakukan wewenang dapat berakibat kerugian bagi dirinya sendiri, berhubung dengan itu wajarlah apabila Undang–undang melarang atau memandang tidak cakap orang yang sedemikian itu melakukan sendiri wewenangnya.[14]

            Dari pendapat di atas, bila terjadi suatu penyalahgunaan kewenangan adalah disebabkan apabila seseorang yang punya kewenangan menjalankan kewenangannya dengan cara yang bertentangan dengan tujuan untuk mana kewenangan itu digunakannya.

         

C.    SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

            Dalam Tindak Pidana Korupsi ada 2 (dua) unsur yakni perbuatan melawan hukum formil dan perbuatan melawan hukum materil. Dalam suatu tindak pidana korupsi kedua unsur ini harus dipenuhi sehingga terdakwa dapat dipidana, apabila hanya salah satu unsur tersebut dipenuhi maka terdakwa tidak dapat dihukum.

            Schaffmeister et.al, membedakan pengertian melawan hukum kedalam empat kelompok yaitu :

a.    Sifat melawan hukum secara umum.

b.    Sifat melawan hukum secara khusus.

c.    Sifat melawan hukum Formil.

d.    Sifat melawan hukum Materil.

            Sifat melawan hukum secara umum maksudnya ialah semua delik, tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, seperti Pasal 338 KUHPidana (Pembunuhan) tidak ada bagian inti (bestanddeel) sebagai bagian inti delik karena merampas nyawa, dengan sendirinya melawan hukum, sehingga tidak perlu dicantumkan dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Maksud melawan hukum secara khusus ialah Pasal 2 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (dulu Pasal 1 ayat (1) sub a UU. No. 3 tahun 1971) secara tegas mencantumkan "Melawan Hukum" sebagai bagian inti (bestanddeel) delik. Dengan sendirinya "Melawan Hukum" harus tercantum di dalam surat dakwaan sehingga harus dapat dibuktikan adanya "Melawan Hukum" jika tidak dapat dibuktikan putusannya ialah bebas.

            Kemudian yang dimaksud dengan melawan hukum secara formil ialah apabila seluruh bagian inti delik sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum. Sebaliknya, artinya melawan hukum secara materil ialah bukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.[15]

            Menurut VOS dalam Tindak Pidana Korupsi yang ada hanya unsur perbuatan melawan hukum formil dan materil, dalam surat dakwaan kedua unsur ini harus dicantumkan dan dibuktikan di sidang pengadilan.

            Menurut VOS, bahwa sifat melawan hukum formil adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum positif (tertulis), sedangkan melawan hukum yang materil adalah perbuatan yang bertentangan dengan asas–asas umum atau norma hukum tidak tertulis.[16]

            Sebelum penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang  Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (M.K) RI dengan putusannya No. 003 /PUU–IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang–undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini kata  "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

                Tetapi setelah penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang Undang No. 31 tahun 1999 telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi RI dengan putusannya No. 003/PUU–IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, maka dalam tindak pidana korupsi di samping perbuatan melawan hukum formil dibuktikan harus pula dibuktikan melawan hukum materil yaitu kerugian negara yang nyata.[17]

            Dalam Diskusi Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi (M.K) yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM tanggal 24 Agustus 2006 menimbulkan perdebatan kalangan, Eddy OS. Hiariej dari Fakultas Hukum UGM mengemukakan bahwa Mahkamah Konstitusi berpegang pada asas legislatie yang lahir dari aliran klasik dalam hukum pidana yang tujuannya hanya untuk melindungi kepentingan individu. Padahal, dalam hukum pidana kejahatan yang berakibat terhadap keamanan dan kesejahteraan masyarakat merupakan wujud nyata aliran modern hukum pidana yakni untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, karenanya asas legalitas tidak berlaku mutlak.[18]

            Menurut Amin Sutikno, Hakim Pengadilan Negeri Manado, Undang Undang Korupsi merumuskan sifat melawan hukum dalam arti formil dan materil dengan dasar pemikiran pertama, korupsi adalah kejahatan yang terkait nasib banyak orang dimana uang negara yang dicuri bisa bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kedua, kepentingan hukum yang akan dilindungi pembentukan Undang-undang adalah keuangan dan perekonomian negara. Ketiga, kejahatan korupsi hampir dilakukan secara terorganisasi dengan Modus Operandi yang canggih sehingga sering dapat lolos dari rumusan melawan hukum formal. Karena itu boleh hanya berkuat pada sifat melawan hukum formal tetapi juga materil.[19]

            Komariah Emong Sapardjaja, menambahkan, dicantumkan atau tidaknya unsur melawan hukum secara materil dalam Undang-undang sebenarnya tidak banyak pengaruhnya. Karena pada hakikatnya sifat melawan hukum secara materil itu sudah melekat pada (sifat melawan hukum formil) sebagai perbuatan yang tidak patut dan tidak terpuji.[20]

            Dalam Doktrin mengenai " Wederrechtelijk " ini terdapat dua aliran besar yaitu :

a.    Aliran Wederrechtelijk Formil.

b.   Aliran Wederrechtelijk Materil.

            Pada aliran wederrechtelijk yang formil, suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang. Aliran ini mengagung-agungkan pada dasar ketentuan-ketentuan yang tertulis yaitu Undang-undang.

            Pada aliran wederrechtelijk yang materil mengajarkan, bahwa tidak selamanya perbuatan melawan hukum itu selalu bertentangan dengan perbuatan dengan Undang-undang. dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang dapat dikecualikan sebagai suatu perbuatan yang tidak melawan hukum. Melawan hukum dapat diartikan baik bertentangan dengan Undang-undang maupun hukum diluar Undang-undang, dan cara pandang demikian disebut cara pandang sifat melawan hukum yang materil. Aliran ini mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang hidup di masyarakat seperti asas-asas umum yang berlaku di masyarakat.

            Konsekuensi dari kedua pandangan ini maka bagi aliran Wederrechtelijk yang formil, maka Wederrechtelijk merupakan unsur dari tiap-tiap delik, dan setiap unsur delik harus dibuktikan. Sebaliknya bagi aliran wederrechtelijk yang materil, Wederrechtelijk  bukan unsur tiap-tiap delik, sehingga Wederrechtelijk itu tidak perlu dibuktikan, akan tetapi cukup apabila perbuatan itu dilarang dan diancam dengan atau oleh Undang-undang.[21]

   Bahwa pada umumnya suatu tindak pidana itu dapat hilang sifatnya sebagai perbuatan yang “Melawan Hukum“ kecuali berdasarkan sesuatu ketentuan Undang–undang, juga berdasarkan asas–asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, misalnya bahwa dalam hal ini faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dapat dilayani dan bahwa terdakwa sendiri tidak memperoleh keuntungan.[22]

            Sifat melawan hukum dari tindak pidana korupsi yang dimuat dalam penjelasan umum yaitu sifat melawan hukum formil dan materil. Adapun tujuan atau maksud pembuat Undang– undang memasukkan sifat melawan hukum formil dan materil dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dicantumkan dalam penjelasan umum adalah bertujuan untuk mempermudah pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan. Apakah benar demikian bahwa dengan dimasukkannya sifat melawan hukum formil maupun materil dalam tindak pidana korupsi mempermudah pembuktian ?.[23]

            Dalam prakteknya, dengan dimasukkannya sifat melawan hukum formil maupun materil dalam tindak pidana korupsi, malahan mempersulit atau membawa beban yang semakin sulit bagi Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan tindak pidana korupsi. Karena di samping sifat melawan hukum yang bersifat phisik (tanpa hak, tanpa seizin) harus membuktikan sifat melawan hukum yang bersifat psykhis (materil).[24]

            Ada beberapa sarjana Eropah menyarankan agar hakim benar–benar berhati–hati menerapkan sifat melawan hukum materil, karena bilamana kepada tindak pidana korupsi hanya berlaku sifat melawan hukum formil, sebagaimana yang berlaku terhadap tindak pidana umum, maka penggunaan dari satu Mata Anggaran dipergunakan untuk keperluan Mata Anggaran lain sudah dapat dihukum, sekalipun pelaku tidak menikmatinya.       

Contoh :

Perkara terdakwa Ir. Moh. Otjo Danaatmadja, dengan putusan Mahkamah Agung RI. No:18K/1973, dimana terdakwa dibebaskan karena secara materil tidak melakukan perbuatan melawan hukum, sekalipun perbuatannya telah memenuhi rumusan delik. Pertimbangan Mahkamah Agung, bahwa perbuatan terdakwa menimbulkan keuntungan yang dirasakan masyarakat sehingga seimbang dengan kerugian yang ditimbulkan sekalipun perbuatannya bertentangan dengan Undang–undang (On Wet), tetapi bukan melawan hukum (On Recht), karena tidak bertentangan dengan asas–asas kepatutan dan sebagainya. Maka dalam kasus yang sama dalam tindak pidana korupsi ditemui adanya putusan yang berbeda, yang satu dijatuhi hukuman, sedangkan dalam kasus yang sama putusan hakim membebaskan terdakwa, sedangkan Jaksa Penuntut Umum sudah yakin betul bahwa terdakwa dijatuhi hukuman karena sudah cukup alat–alat bukti. Hal ini dimungkinkan, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim berpegang kepada melawan hukum formal, sedangkan tindakan terdakwa yang mungkin berupa kebijaksanaan yang menguntungkan masyarakat (contoh kasus Ir. Otjo di atas) dimasukkan dalam alasan–alasan yang meringankan hukuman bukan berakibat hapusnya sifat melawan hukum.[25]

            Menurut Satochid Kartanegara, berpendapat bahwa sedangkan “Wederrechtelijk formil” berdasarkan pada Undang– undang, sedangkan “Wederrechtelijk Materil” adalah bukan Undang–undang, akan tetapi asas–asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum atau apa yang dinamakan algemene beginsel.[26]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



              [3] Baharuddin Lopa, 1997, Masalah Korupsi dan Pemecahannya, PT. Kipas Putih Aksara, Jakarta, halaman 6.

 

               [4] Varia Peradilan, April 2007,  Majalah Hukum Tahun ke XXII No. 257,  halaman 21

                    [5].H.Duswara Machmudin, April 2007, Konsepsi, Visi, Misi dan Strategi tentang Pemberantasan Tindak Pidana majalah Hukum Tahun ke XXII No. 257 halaman 19

 

                   [6] Baharuddin Lopa, 2001, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Penerbit Kompas Media Nusantara, Jakarta, halaman 71.

               [7] Andi Hamzah, 2006, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja grafindo Persada, Jakarta,  halaman 18 – 23.

                 [8] Evi Hartati, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta,  halaman 11.

                 [9] Martiman Prodjohamidjojo, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, Cv. Mandar Maju, Bandung,  halaman 21– 25

                  [10] Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi, melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,  halaman 83.

                 [11] Adami Chazawi, 2003, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia,  Bayumedia Publishing, Malang, halaman 37.

                 [12] Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit.

                 [13] B.S Pramono, Pokok–pokok Pengantar Ilmu Hukum, Usaha Nasional, Surabaya Indonesia, halaman 35

                [14] Ibid. halaman 39 - 40

                [15] Andi Hamzah, 2005, Op. Cit, halaman.124 – 125.

                [16] Martiman Pradjohamidjojo, Op. Cit, halaman 57.

                 [17] Putusan Mahkamah Agung Konstitusi RI : No. 003 / Peraturan Undang-Undang – IV / 2006 tanggal 25 Juli 2006.

                 [18] Varia Peradilan, Juli 2007, Majalah Hukum tahun ke XXII No.260, halaman 64.

                [19] Ibid.

                [20] Komariah Emong Sapardjaja, tanggal 24 Agustus 2007, Diskusi Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi, Fakultas Hukum UGM.

                [21] Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit,  halaman 56.

                [22] Chidir Ali, 1979, Jurisprudensi Indonesia tentang Hukum Pidana Korupsi, Bina Cipta, halaman 10.

                [23] Osman Simanjuntak, 1995, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,  halaman 80-81.

                [24] Ibid

                [25] Ibid

                [26] Leden Marpaung, 1992, Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta,  halaman 71, bagian Pertama.





BAB III

 

PENGATURAN HUKUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI ATAS PERINTAH JABATAN

 

A.   PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

            Merumuskan pertanggungjawaban pidana secara negatif terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana, dalam hal ini dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana, dengan demikian konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat–syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana sementara berpangkal tolak pada gagasan Monodualistik (daad en dader strafrecht), proses wajar (due process) penentuan pertanggungjawaban pidana bukan hanya dilakukan dengan memerhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga pembuatnya sendiri, proses tersebut bergantung pada dapat dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana.

            Baik negara–negara civil law maupun Common Law umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana Civil Law system lainnya, Undang–undang justru merumuskan keadaan–keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan.[27]

            Dalam hal mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana, harus terbuka kemungkinan bagi pembuat untuk menjelaskan mengapa dia berbuat demikian, maka dapat dikatakan tidak terjadi proses yang wajar (due process) dalam mempertimbangkan perbuatan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana karenanya harus dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk diri sendiri mungkin pembuat menyadari sepenuhnya tentang konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.  

            Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.

            Pengkajian penerapan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terutama dilakukan terhadap pertimbangan hukum putusan pengadilan, mengingat di dalamnya dipertimbangkan tentang tindak pidana, pertanggung jawaban pidana pembuatnya dan pidana yang dijatuhkan. Sejauh ini aturan hukum mengenai pertimbangan hukum ini ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP. Pasal tersebut menentukan bahwa putusan pengadilan diantaranya memuat “pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa“. Apabila ketentuan ini dikaitkan dengan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, maka “fakta dan keadaan” yang dimaksud dalam pasal tersebut, tentunya adalah berkenan dengan “Tindak Pidana” yang dilakukan dan kesalahan terdakwa.[28]

               Tindakan melawan hukum dalam kerangka Undang– undang Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya adalah merupakan penyalahgunaan wewenang di dalam kerangka tanggungjawab pengelolaan tersebut, perbedaan perbuatan dalam tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencurian atau penggelapan adalah bahwa tindak pidana korupsi dilakukan melalui sistem yaitu proses pengelolaan keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tidak benar.

               Dari pemeriksaan proses tindak pidana korupsi akan dapat dipilah–pilah pejabat mana yang secara Administrasi harus bertanggungjawab dan mana yang secara material harus bertanggung jawab, tidak dapat dipungkiri dalam prakteknya bahwa yang bertanggung jawab dalam Instansi Pemerintah maupun Badan Hukum Negara atau Perusahaan Negara dalam suatu tindak pidana korupsi dipikul oleh Kepala Instansi tersebut.

            Menurut Soejatna Soenoesoebrata mantan Auditor Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI, pada umumnya tindak pidana korupsi lebih banyak menyangkut orang–orang yang mempunyai tanggungjawab materil. Tetapi berarti pimpinan yang mempunyai tanggungjawab Administrasi tidak dapat terkena tuduhan tindak pidana korupsi. Tuduhan itu dapat menyangkut dirinya apabila pimpinan secara nyata dapat dibuktikan memberi perintah yang nyata–nyata kepada bawahan untuk melakukan tindakan yang menyimpang, atau tidak mau mengingatkan bawahan dari tindakan penyimpangan yang dilakukan (memberikan bawahan menyimpang walaupun ia tahu), tentu saja untuk membuktikannya lebih sulit, lebih– lebih kalau pemeriksaan tidak dapat menemukan bukti yang mendukung.[29]

            Perintah jabatan (Ambtelijk bevel) diatur dalam Pasal 51 KUHP berbunyi :

(1)      Tidaklah dapat dihukum barang siapa melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang untuk memberikan perintah jabatan tersebut.

 

(2)       Suatu perintah jabatan yang telah diberikan tanpa kewenangan, tidak meniadakan sifat dapat dihukum dari pelakunya, kecuali apabila perintah jabatan tersebut oleh bawahan yang bersangkutan dengan itikad baik telah dianggap sebagai suatu perintah jabatan yang telah diberikan sesuai dengan kewenangan yang ada pada kekuasaan yang telah memberikan perintah, dan pelaksanaan perintah tersebut terletak dalam lingkup pekerjaannya sebagai bawahan.

   

            Menurut NOYON–LANGEMENIJER, perkataan "Ambtelijk bavel" atau "Perintah Jabatan" itu sendiri secara harafiah dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, dimana kewenangan untuk memerintahkan semacam itu bersumber pada suatu " Ambtelijk Positie " atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah.[30]

            Menurut VAN HAMEL, kewenangan seperti dimaksud dalam Pasal 51 KUHP itu ditentukan oleh segi Formal dan segi Material kewenangan tersebut, yakni oleh pengangkatan dalam jabatan dari orang yang memberikan perintah dan hubungannya dengan orang yang diperintah, oleh wilayah di atas wilayah mana ia mempunyai kekuasaan dan oleh bentuk dan isi dari perintah itu sendiri.[31]

            Dari pendapat ahli hukum tersebut di atas, bagaimana pula seorang bawahan dalam setiap menjalankan perintah atasannya apakah bawahan harus membuat penilaian yaitu apakah atasan yang telah memberikan perintah kepada bawahan memang benar-benar mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan perintah tersebut supaya bawahan jangan sampai dihukum ?.

            Penulis dapat menggambarkan struktur jabatan permerintah Kota PematangSiantar dari jenjang Walikota sampai pada Sub Bagian Perbendaharaan sebagai berikut :

Walikota

 
                                   

 

   
 

Wakil Walikota

 
 
 

Sekretaris Daerah Kota

 
 

 

 


Perintah

 

             
   

Asisten

Administrasi

 
 
 
 
   

Sub. Bag. Pembukuan / Verifikasi

 
 
   

Sub. Bag. Perbendaharan

 
 
   

Sub. Bag. Gaji

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Sumber : Pemerintah Kota Pematang Siantar.[32]

 

            Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa responden sebagai bawahan Sub.Bag. Perbendaharaan yang menjadi korban perintah jabatan dalam tindak pidana korupsi yang diteliti oleh penulis, telah tergambar bahwa yang memberi perintah langsung kepada responden yang menjadi korban atas perintah jabatan adalah atasan yang punya kewenangan penuh yaitu Walikota.[33]

 

            Pembentuk Undang–undang telah memperluas ketentuan tentang hal tidak dapat dihukumnya seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan, sehingga orang–orang yang telah melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh seorang atasan yang sebenarnya tidak mempunyai kewenangan mengeluarkan perintah semacam itu, menjadi tidak dapat dihukum dengan syarat :

a.     Apabila perintah seperti itu oleh bawahan yang bersangkutan dengan "Itikad Baik" atau "te goeder trouw" dianggap sebagai suatu perintah yang telah diberikan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh atasannya dan

b.    Apabila ketaatan pada perintah tersebut memang terletak dalam ruang lingkup pekerjaannya sebagai seorang bawahan.

 

            Syarat yang pertama di atas itu merupakan suatu syarat subjektif dan syarat yang kedua merupakan suatu syarat objektif. Menurut penjelasan dalam Memori Van Teolichting, barang siapa mengemukakan suatu alasan bahwa apa yang telah ia lakukan itu adalah untuk melaksanakan suatu perintah jabatan, maka orang tersebut harus membuktikan dengan cara yang demikian di depan Hakim bahwa ia telah memenuhi dua macam syarat tersebut diatas.[34]

                RUTTEN berpendapat bahwa setiap orang yang diharuskan mentaati perintah akan dapat mencari dasar pada sesuatu perintah jabatan dengan pengertian, bahwa tidak perlu adanya hubungan atasan dengan bawahan (Ondergeschiktheid). Perintah jabatan tersebut hanyalah berlaku sebagai dasar pembenar bagi orang yang telah melaksanakan perintah tersebut.[35]

            Tidaklah dapat dipungkiri bahwa penguasa dengan pemberian perintah jabatan tersebut telah melakukan perbuatan secara melawan hukum. Dasar pembenar tersebut dalam prakteknya tidaklah penting artinya, karena dalam hal sedemikian itu yang digugat bukannya pegawai yang melaksanakan perintah jabatan, melainkan penguasalah yang digugat. Adapun ayat (2) dari Pasal 51 KUHP tersebut menentukan bahwa sesuatu perintah yang diberikan oleh pejabat, pemerintah yang tidak mempunyai kewenangan untuk itu, tidaklah meniadakan sifat melawan hukumnya, akan tetapi merupakan suatu dasar peniadaan hukuman.[36]

            Menurut HAZEWINKEL SURINGA, akhir ketentuan dalam ayat (2) tersebut menjamin peniadaan hukuman tersebut asal saja dipenuhi 2 (dua) syarat yakni :

1.    Bilamana perintah tersebut oleh bawahan secara itikad baik dianggap sebagai diberikan secara sah.

2.    Pelaksanaannya adalah termasuk lingkup kewajiban pegawai bawahan tersebut.

            Dengan adanya 2 (dua) syarat tersebut dalam ayat (2) yang dengan tegas memuat ketentuan tentang sikap pegawai bawahan terhadap perintah jabatan diberikan tidak secara sah, maka timbullah pertanyaan, apakah pendapat RUTTEN tersebut di atas dapat dipertahankan. Menurut M.A. MOEGNI DJOJODIRDJO, pendapat RUTTEN dapat dipertahankan karena bukankah ayat (1) hanya menyebut “Hij” ( barang siapa ) dan dari istilah “Hij” tersebut tidaklah nampak apakah “Hij” tersebut sudah harus seorang pegawai bawahan.[37]

 

 

 

            Menurut HATTUM, Pasal 51 KUHP mengatur dasar peniadaan hukuman mengenai pelaksanaan dari perintah jabatan yang diberikan oleh kekuasaan yang berwenang memberikan perintah tersebut. Juga di sini tingkah laku itu disahkan oleh sebuah perintah, sehingga tingkah laku tersebut tidaklah melawan hukum. Walaupun di dalam ayat (2) nyatanya hanya terpikirkan tentang perintah–perintah jabatan yang diberikan kepada seorang bawahan, kebanyakan penulis beranggapan bahwa untuk memberlakukan ayat (1) tidaklah perlu ada hubungan sebagai bawahan. Hal mana adalah cukup jelas, bahwa sesuai antara lain dengan apa yang diatur di dalam Pasal 525 KUHP, perintah semacam itu tidaklah perlu ditujukan kepada seorang bawahan, oleh karena itu adalah wajar jika perkataan “bawahan” seperti yang dimaksudkan di dalam ayat (2) itu jangan ditafsirkan terlalu sempit, sehingga termasuk pula kedalam pengertiannya yaitu setiap orang yang dapat diberi perintah. Bilamana suatu perkataan itu telah dilakukan untuk melaksanakan sesuatu Instruksi, maka Pasal 51 KUHP itu dapat diberlakukan.

            Suatu instruksi jabatan itu adalah tidak lain dari pada sejumlah perintah–perintah, dan Pasal 51 KUHP tidak mensyaratkan bahwa perintah itu harus diberikan untuk sesuatu hal yang konkrit, dimana Pasal 51 ayat (1) KUHP hanya mempersoalkan perintah jabatan yang diberikan oleh kekuasaan yang berwenang untuk mengeluarkannya, sehingga tindakan pelaksanaannya tidak mempunyai sifat sebagai tindakan melawan hukum, maka didalam ayat (2) diatur bahwa berdasarkan syarat – syarat tertentu pelaksanaannya dari perintah jabatan yang diberikan oleh kekuasaan yang tidak berwenang untuk mengeluarkan perintah tersebut, menjadi suatu perbuatan yang tidak dapat dihukum. Hal tidak dapat dihukumnya seseorang yang melaksanakan perintah jabatan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa dengan demikian ketaatan untuk melaksanakan perintah–perintah jabatan itu menjadi dijamin, hubungan antara atasan dengan bawahan di dalam alat–alat kekuasaan negara itu akan menjadi sangat dirugikan, bilamana seorang bawahan setiap kali dengan rasa takut harus mendapat keyakinan bahwa perintah–perintah yang telah diberikan oleh atasannya itu adalah sah atau tidak.[38]

            HOGE RAAD dalam Arrestnya tanggal 17 Januari 1916. N. J.1916 halaman 604. W. 9944 telah merumuskan antara lain :

Seorang anggota Polisi yang memasukkan seorang yang ditahan kedalam kamar tahanan, karena dengan itikad baik menganggap bahwa atasan yang telah memerintahkannya berbuat demikian itu mempunyai alasan–alasan yang sah menurut Undang-undang untuk mengatakan bahwa ia telah bertindak di dalam bidang tugasnya sebagai seorang bawahan.[39]

            Menurut SATOCHID KARTANEGARA, perlu diingat bahwa di dalam menjalankan perintah jabatan antara yang memerintah dan yang diperintah harus ada hubungan yang didasarkan pada hukum publik.

Contoh :

Seorang prajurit Polisi diperintahkan oleh seorang Kapten Polisi untuk menangkap seorang yang disangka melakukan pencurian. Prajurit itu sebenarnya melakukan perampasan kemerdekaan orang itu, tetapi karena penangkapan itu berdasarkan atas perintah yang sah maka tidak dapat dipidana. Perintah yang diberikan oleh seorang majikan kepada bawahannya di dalam hubungan hukum perdata tidak termasuk di dalam Pasal 51 ini, Pasal 52 ayat (2) mengatur tentang melaksanakan perintah yang tidak sah, orang  yang melaksanakan perintah yang tidak sah itu tidak dapat dipidana bila memenuhi syarat – syarat :

1.    Jika ia dengan itikad baik mengira bahwa perintah itu sah.

2.    Jika perintah itu terletak dalam lingkungan kekuasaan orang yang diperintah.[40]

 

            Dasar–dasar yang meniadakan hukuman (Strafuitsluitingsgronden)  berlaku terhadap tiap–tiap delik, hal ini diatur dalam Pasal 44, 48, 49, 50, 51, dalam Pasal 51 dapat dijalankan pula terhadap sesorang yang melakukan sesuatu perbuatan guna melaksanakan perintah yang diberikan kepadanya sebagai Pegawai Negeri.[41]

            Dasar/alasan pembenar atau pemaaf merupakan dasar peniadaan pidana (Strafuitluitingsgronden) yang wajib dipertimbangkan hal ini dalam putusannya. Dasar peniadaan pidana ini terdiri dari dasar peniadaan pidana yang diatur di dalam Undang-Undang (KUHP) dan yang diatur di luar Undang-undang. Yang diatur di dalam Undang–undang, tersebut juga sebagai alasan pembenar tercantum di dalam Pasal 49–51 KUHP, sedangkan alasan pemaaf diatur di dalam Pasal 44 (orang gila) atau Pasal 48 ( daya paksa/Noodtoestand).[42]

  

B.   SISTEM PEMBUKTIAN DALAM PIDANA KORUPSI

            Dalam perkara pidana biasa maupun dalam Perkara Korupsi Sistem Pembuktian yang dipakai adalah menurut Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) yakni sistem negatif menurut Undang-undang (Negatif Wettelijk) yang termuat dalam Pasal 183 KUHAP, dinyatakan:

   "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada sesorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya"

               Kata sekurang-kurangnya dua alat bukti yang memberikan limitatif dari bukti yang minimum yang harus disampaikan pada acara pembuktian. Alat bukti yang sah tersebut terdapat dalam Pasal 184 KUHAP yakni ;

1.    Keterangan Saksi

2.    Keterangan Ahli

3.    Surat

4.    Petunjuk

5.    Keterangan Terdakwa.

 

            Jadi Pasal KUHAP menetapkan adanya dua bukti minimum, yakni misalnya keterangan saksi dan keterangan Ahli, atau keterangan saksi dan surat, dan seterusnya terdapat beberapa kombinasi atau gabungan dari alat-alat bukti yang sah. Sehingga meskipun terdapat empat, lima atau enam saksi yang diajukan, akan tetapi hakim pidana tidak yakni bahwa tindak pidana itu telah terjadi dan dilakukan oleh terdakwa, maka hakim pidana akan membebaskan terdakwa atau akan melepaskan dari segala tuntutan hukum.

            Sistem KUHAP menganut sistem Negatif Wettelijk, tidak mengijinkan hakim pidana untuk menerapkan atau menggunakan alat-alat bukti lain yang tidak ditetapkan oleh Pasal 184 KUHAP. Dengan demikian misalnya alat bukti berupa "Pengetahuan Hakim" tidak merupakan alat bukti yang ditetapkan oleh Undang-undang melalui Pasal 184 KUHAP.

            Di samping Pasal 183 KUHAP, asas Negatif Wettelijk tercermin pula pada Pasal 189 ayat (4) KUHAP bahwa berdasarkan pengakuan saja hakim tidak boleh menghukum terdakwa, pengakuan tanpa alat bukti lain merupakan pembuktian yang tidak lengkap (onvoldoende bewijs).

            Hakikat pembuktian ialah mencari kebenaran akan peristiwa-peristiwa hingga dengan demikian akan diperoleh kepastian bagi hakim kebenaran peristiwa tertentu. Sengketa perdata dibawa ke persidangan dengan maksud untuk memperoleh keputusan yang seadil-adilnya, sedangkan perkara pidana dibawa ke persidangan dengan maksud untuk memperoleh keputusan yang setimpal atas perbuatan terdakwa. Oleh karena itu terdapat perbedaan antara pembuktian dalam perkara perdata dan dalam perkara pidana, dimana unsur keyakinan hakim dipersyaratkan bagi perkara pidana dan dalam perkara perdata tidak disebut sebagai syarat akan adanya keyakinan hakim itu.[43]

            WIRJONO PRODJODIKORO berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara Negatif (Negatif Wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya agar ada patokan-patokan tertentu yang harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan.[44]

            Di samping sistem pembuktian menurut KUHAP, dalam tindak pidana korupsi dikenal dengan teori pembuktian terbalik sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang RI. No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pada Pasal 37 ayat (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Ayat (2),  Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh Pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

            Pasal 37 A ayat (1), Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suaminya, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

Ayat (2), Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Ayat (3),  ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan dalam pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 , Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

            Dari ketentuan pasal tersebut di atas penulis berpendapat bahwa sepanjang terdakwa bisa membuktikan tidak melakukan tindak pidana korupsi mengenai harta bendanya, harta benda isterinya, anak atau kekayaan atau sumber kekayaannya, maka penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya, tetapi bila sebaliknya maka keterangan terdakwa tersebut digunakan oleh Penuntut Umum maupun hakim memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

            Dalam rangka usaha penyempurnaan sistem ini, perlu dipraktikkan pembuktian terbalik seperti yang berlaku di Malaysia, Singapura dan Hongkong. Kita ambil saja contoh di Hongkong tentang pembuktian terbalik ini yang tertera dalam Pasal 10 (1b) Prevention of bribery Ordinance 1970, Added 1974 yang berbunyi " Or is in control of pecuniary resources of property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives statisfactory explanation to the count as to how he was able to maintain such a standard of living or how such pecuniary resources of property came under his control, be quilty of an offence (menguasai sumber-sumber pendapatan atau harta yang tidak sebanding dengan gajinya pada saat ini atau pendapatan resmi di masa lalu, kecuali kalau ia dapat memberikan suatu penjelasan yang memuaskan kepada pengadilan mengenai bagaimana ia mampu memperoleh standart hidup yang demikian sumber-sumber pendapatan atau harta itu dapat ia kuasai).[45]

            Undang Undang korupsi menunjukkan KUHAP sebagai Hukum Acara yang berlaku, oleh karena itu proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan disidang pengadilan, termasuk hukum pembuktian dan putusannya harus didasarkan pada KUHAP, kecuali secara khusus ditentukan lain.

            Undang-undang menganut sistem pembuktian negatif (Negative Wettelijk Bewijkslast ) yaitu untuk dapat menghukum terdakwa korupsi harus dipenuhi setidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan bahwa tindak pidana korupsi telah terjadi dan terdakwa bersalah melakukannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP jo. Pasal 6 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

            Khusus untuk perkara korupsi Undang Undang korupsi memperkenalkan penggunaan bukti-bukti baru yang diperoleh dan sarana elektronik dan teknologi informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 26 A dan penjelasannya yaitu berupa :

a.    Informasi yang diucapkan dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa itu.                   

b.    Dokumen yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.

            Singkatnya, bukti-bukti berupa disket/cdroom, e-mail, faksimale, bukti pembicaraan telepon atau transkripnya, transaksi perbankan atau print out-nya dapat dipergunakan sebagai bukti tindak pidana.

 

C.   STUDY KASUS

 

P        U       T       U       S       A       N

Nomor : 328 / Pid.B / 2006 / PN – PMS

 

"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"

            Pengadilan Negeri Pematang Siantar yang memeriksa dan mengadili perkara–perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada tingkat pertama, bersidang dengan Majelis Hakim berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri Pematang Siantar No.670 / Pen.Pid / 2006 / PN – PMS, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa- terdakwa :

TERDAKWA I :

Nama lengkap                : Dr. ANDI AZIS RANGKUTI.

Tempat lahir                    : Medan

Umur/Tanggal lahir       : 45 Tahun/26 Maret 1961

Jenis Kelamin                : Laki-laki

Kebangsaan                   : Indonesia

      Tempat Tinggal              : Jl. Padangsidempuan No. 30

                                                   Kel. Timbang Galung Pematang Siantar.

Agama                             : Islam

Pekerjaan                                    : Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Pendidikan                                 : Sarjana (S-1)

 

TERDAKWA II :

Nama Lengkap              : EFENDI MAULANA HARAHAP

Tempat Lahir                  : Tanjung Balai

Umur/Tanggal Lahir      : 40 Tahun/20 Agustus 1966

Jenis Kelamin                : Laki-laki

Kebangsaan                   : Indonesia

      Tempat Tinggal              : Jl. Alamanda U D3-2 KS-Permai

                                                   Kel. Tambun Nabolon Kec. Siantar Martoba

                                                   Kodya Pematang Siantar

      Agama                             : Islam

Pekerjaan                        : Pegawai Negeri Sipil

Pendidikan                     : SMEA.

 

            Terdakwa-terdakwa masing-masing telah ditahan di dalam Rumah Tahanan Negara sejak tanggal 27 Juni 2006 dan dialihkan menjadi tahanan kota sejak tanggal 19 Oktober 2006 sampai dengan sekarang.

      PENGADILAN NEGERI TERSEBUT

      Telah membaca dan mempelajari surat-surat dalam berkas perkara ini.

Telah mendengar keterangan saki-saksi dan keterangan Terdakwa-terdakwa di Persidangan.

      Telah memperhatikan bukti surat dan barang bukti dalam perkara ini.

      Telah mendengar pembacaan Tuntutan Pidana oleh Jaksa Penuntut Umum, tertanggal 20 Desember 2006, yang pada pokoknya sebagai berikut :

1     Menyatakan Terdakwa 1. Dr. ANDI AZIS RANGKUTI, 2 EFENDI MAULANA HARAHAP, bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang Undang No. 41 Tahun 1999 jo. Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

2     Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa 1. Dr. ANDI AZIS RANGKUTI, 2. EFENDI MAULANA HARAHAP, masing-masing dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi selama terdakwa-terdakwa berada dalam tahanan dan denda masing-masing sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsider 2 (dua) bulan kurungan.

3     Menyatakan barang bukti berupa :

1.    Kontrak Surat Perjanjian Jual Beli No. 915 / 4199 / VII / 2004 tanggal 16 Agustus 2004.

2.    Foto Mobil Ambulance dan peralatan medis., dst,...

Sebagaimana tertera dalam daftar barang bukti tetap dilampirkan dalam berkas perkara untuk dijadikan barang bukti dalam perkara atas nama Terdakwa Dra. FATIMAH SIREGAR.

4     Menetapkan supaya masing-masing Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (Dua Ribu Rupiah).

 

            Menimbang, bahwa Terdakwa-I telah menunjuk Penasehat Hukumnya yaitu EFI RISA JUNITA, SH, Advokat / Penasehat Hukum, berkantor dijalan Ade Irma Suryani No. 43 B Pematang Siantar, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 07 September 2006 didalam Nota Pembelaannya pada tanggal 04 januari 2007 pada pokoknya menyatakan bahwa Terdakwa-I tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dan memohon agar Majelis Hakim membebaskan Terdakwa–I dari segala dakwaan dan tuntutan hukum.

            Menimbang, bahwa Terdakwa–II telah menunjuk Penasehat Hukum yaitu SARBUDIN PANJAITAN, S.H., Advokat / Penasehat Hukum, berkantor dijalan. Merdeka No.112 Pematang Siantar, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 23 Mei 2006, di dalam Nota pembelaannya tertanggal 4 Januari 2007 pada pokoknya menyatakan bahwa Terdakwa–II tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dan memohon Majelis Hakim membebaskan terdakwa–II dari segala dakwaan dan tuntutan hukum.

            Menimbang, bahwa atas pembelaan penasehat Hukum Terdakwa – I dan terdakwa – II tersebut, Jaksa Penuntut Umum menyatakan tetap pada dakwaan dan tuntutannya.

            Menimbang, bahwa berdasarkan Surat Dakwaan Penuntut Umum Nomor Register Perkara : PDS-04 / PS / 09 / 2006 tertanggal 5 September 2006, Terdakwa–terdakwa telah didakwa melakukan tindak pidana sebagai berikut :

 

      DAKWAAN PERTAMA :

            Pasal 2 ayat (1) Undang Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

 

      DAKWAAN atau KEDUA :

            Pasal 3 Undang  Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang–Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

            Menimbang, bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang diajukan kepada Terdakwa–I dan Terdakwa–II dilihat dari sistematika pembuatannya adalah disusun dalam bentuk dakwaan alternatif, yakni :

Pertama :  Diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo.UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

 

Atau

 

      Kedua :      Diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 15 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

 

            Menimbang, bahwa sesuai dengan Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang telah sejalan dengan pendapat Penasehat Hukum Terdakwa–I dan Terdakwa–II sebagaimana diuraikan dalam Nota Pembelaannya dihubungkan dengan hasil pemeriksaan dipersidangan dan sebagai konsekwensi logis dari bentuk dakwaan yang diajukan maka Majelis akan secara langsung mempertimbangkan Dakwaan Kedua dari Jaksa Penuntut Umum yakni Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP, yang unsur–unsurnya :

1.    Setiap orang

2.    Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

3.    Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

4.    Dapat merugikan Keuangan Negara.

5.    Turut serta.

 

1.    SETIAP ORANG

               Menimbang, bahwa dipersidangan telah diajukan Terdakwa–I Dr. ANDI AZIS RANGKUTI dan Terdakwa–II EFENDI MAULANA HARAHAP oleh Jaksa Penuntut Umum yang identitasnya telah dibacakan dan dibenarkan oleh masing-masing Terdakwa.

               Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan- pertimbangan sebagaimana tersebut di atas maka Majelis berpendapat bahwa unsur ini telah terpenuhi.

 

2.   UNSUR DENGAN TUJUAN MENGUNTUNGKAN DIRI SENDIRI ATAU ORANG LAIN ATAU SUATU KORPORASI

               Menimbang, bahwa sesuai dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan telah nyata bahwa Terdakwa–I adalah sebagai Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kotamadya Pematang Siantar sebagai pengguna Anggaran Pengadaan 5 (lima) unit mobil ambulance roda empat dan peralatan medisnya yang anggarannya ditampung dalam DAK Non DR sebesar Rp. 1.001.000.000,- ( Satu milyar satu juta rupiah ).

               Menimbang, bahwa benar sebagai pengguna Anggaran Terdakwa–I atas perintah lisan dari Ir. KURNIA RAJASYAH SARAGIH, MM, telah membuat Nota Dinas dengan dilampiri kwitansi penerimaan uang panjar sebesar Rp. 1.001.000.000,- (Satu milyar satu juta rupiah ) untuk pengadaan 5 (lima) unit mobil ambulance roda empat dengan peralatan medisnya.

               Menimbang, bahwa benar Terdakwa–II menerima Nota Dinas beserta kwitansi uang panjar sebesar Rp. 1.001.000.000,- ( Satu milyar satu juta rupiah ) yang ditanda tangani oleh Ir. KURNIA RAJASYAH SARAGIH, MM dan mencairkan dananya yang selanjutnya diberikan kepada Dra. FATIMAH SIREGAR sebesar Rp. 630.000.000,- ( Enam ratus tiga puluh juta rupiah ) dan kepada Ir. KURNIA RAJASYAH SARAGIH, MM dengan perantaraan SUHERMAN.

               Menimbang, bahwa berdasarkan Pertimbangan - pertimbangan sebagaimana tersebut di atas maka Majelis berpendapat bahwa unsur ini telah terpenuhi.

3.    UNSUR MENYALAHGUNAKAN KEWENANGAN, KESEMPATAN AYAT SARANA YANG ADA PADANYA KARENA JABATAN ATAU KEDUDUKAN :

               Menimbang, bahwa sesuai dengan Keppres No. 80 tahun 2003 bahwa pengadaan barang dengan nilai Rp. 1.001.000.000,- (Satu Milyar Satu Juta Rupiah) harus dilakukan dengan cara melalui tender, jadi tidak dapat dilakukan hanya dengan Nota Dinas dan uang Panjar sesuai aturan hanya bisa dibayarkan sebesar 30 % dari nilai mata Anggaran barang yang dibutuhkan tersebut.

               Menimbang, bahwa sesuai dengan pertimbangan Majelis sebagaimana tersebut diatas ternyata perbuatan Terdakwa–I membuat Nota Dinas Pengadaan 5 (Lima) unit mobil ambulance roda empat dengan peralatan medis dengan penunjukan langsung tanpa tender yang diikuti dengan menerbitkan kwitansi tanda penerimaan uang panjar sebesar Rp. 1.001.000.000,- (Satu Milyar Satu Juta Rupiah) yakni sebesar mata anggaran yang dianggarkan untuk pengadaan barang tersebut sudah bertentangan dengan aturan yang berlaku yakni Kepres No. 80 Tahun 2003 dan bertentangan dengan kepatutan dan kehati–hatian yang harus diikuti oleh Terdakwa–I sebagai Pejabat Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kotamadya Pematang Siantar sekaligus sebagai pejabat pengguna barang.

               Menimbang, bahwa demikian juga halnya Terdakwa–II ternyata telah mencairkan uang pengadaan 5 (lima) unit mobil ambulance roda empat dan peralatan medis dari Dana Anggaran Umum Daerah yang mata anggarannya tertampung dalam mata Anggaran dana Alokasi Khusus Non Dana Reboisasi (DAK Non DR) sebesar Rp. 1.001.000.000,- (Satu Milyar Satu Juta Rupiah) sebagai uang panjar tanpa ada persetujuan dari Kepala bagian Keuangan Pemerintah Kotamadya Pematang Siantar dan ternyata jumlah tersebut sudah sama dengan nilai keseluruhan mata anggaran dari pengadaaan barang tersebut, sedangkan menurut aturan paling maksimal dapat dicairkan sebagai uang panjar adalah 30 % dari keseluruhan mata anggaran, selain itu ternyata Terdakwa–II telah menyerahkan uang panjar pengadaan mobil ambulance roda empat dan peralatan medis kepada Dra. Fatimah Siregar sebesar Rp. 630.000.000,- (Enam ratus tiga puluh juta rupiah) dan kepada Ir. Kurnia Rajasyah Saragih, MM melalui Suherman sebesar Rp. 371.000.000,- (Tiga ratus tujuh puluh satu juta rupiah) sementara yang tertulis di Nota Dinas dan kwitansi harusnya diserahkan kepada terdakwa–I sebagai Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kotamadya Pematang Siantar sekaligus sebagai Pengguna Anggaran, sehingga dengan demikian maka perbuatan terdakwa–II sudah bertentangan dengan aturan yang seharusnya dipatuhi oleh Terdakwa–II.

               Menimbang, bahwa sesuai dengan Pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka Majelis berpendapat bahwa unsur ini telah terpenuhi.

4.    UNSUR YANG DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA ATAU PEREKONOMIAN NEGARA

               Menimbang, bahwa benar sebelum barang tiba Ir. Kurnia Rajasyah Saragih, MM telah membayar uang pengadaan 5 (lima) unit mobil ambulance dan peralatan medis sebesar Rp. 450.000.000,- (Empat ratus lima puluh juta rupiah) yang diserahkan melalui Deddy Mahyuzar alias Putra dan sekitar bulan Mei 2005 dibayar Rp. 230.000.000,- (Dua ratus tiga puluh juta rupiah) oleh terdakwa–I kepada PT. Astra Internasional TBK, dan sekarang karena pembayarannya macet pihak PT. Astra Internasional Isuzu melaporkannya ke pihak Kepolisian di Polda Sumatera Utara sekaligus tentang adanya perbedaan kontrak yang diterima oleh pihak PT. Astra Internasional dengan yang ada pada pihak Pemko Pematang Siantar diduga adanya indikasi pemalsuan.

               Menimbang, bahwa benar pihak BPKP wilayah Propinsi Sumatera Utara telah melakukan audit atas pembukuan pengadaan 5 (Lima) unit mobil ambulance oleh auditor Dra. M. Ulina Sitepu hingga menemukan bahwa barang secara fisik telah sesuai dan lengkap namun pembayaran kepada pihak penyediaan barang belum dilaksanakan seluruhnya dengan kesimpulan pada tanggal 27 Januari 2006 menjelaskan bahwa Negara telah dirugikan Rp. 321.000.000,- (Tiga ratus dua puluh satu juta rupiah) dengan perhitungan jumlah pengeluaran kas panjar Rp. 1.001.000.000,- (Satu milyar satu juta rupiah) dan realisasi pembayaran Rp. 680.000.000,- (Enam ratus delapan puluh juta rupiah) yang dikembalikan kepada kas tidak ada (Nihil).

               Menimbang, bahwa dengan telah dicairkannya uang panjar sebesar Rp. 1.001.000.000,- (Satu milyar satu juta rupiah) dari kas Daerah Pemerintah Kotamadya Pematang Siantar untuk pengadaan 5 (lima) unit mobil ambulance dengan peralatan medis pada tanggal 23 April 2004 dan barang tersebut sudah direalisasikan seluruh secara pisik pada bulan Desember 2004 namun pembayaran hingga tanggal 27 Januari 2006 baru direalisasikan sebesar Rp. 680.000.000,- (Enam ratus delapan puluh juta rupiah) hingga terdapat selisih Rp. 321.000.000,- (Tiga ratus dua puluh satu juta rupiah) yang belum dibayarkan kepada pihak penyedia barang dan seharusnya sudah dibayarkan paling lambat 2 (dua) minggu setelah pesanan berupa 5 (lima) unit mobil ambulance roda empat dengan peralatan medis diterima oleh Panitia Penerima Barang.

               Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Majelis berpendapat bahwa unsur ini telah terpenuhi.

 

 

5.    TURUT SERTA :

               Menimbang, bahwa  yang dimaksud dengan turut serta dalam hal ini adalah dalam arti bersama-sama melakukan suatu perbuatan oleh 2 orang atau lebih dimana antara perbuatan masing-masing sangat berkaitan erat.

               Menimbang, bahwa sesuai dengan fakta yang terungkap dipersidangan serta hal-hal yang sudah dipertimbangkan diatas maka sudah jelas terlihat bahwa Terdakwa–I sebagai Kepala Dinas Kesehatan/pengguna barang membuat Nota Dinas dan menandatangani kwitansi penerimaan uang panjar sebesar Rp. 1.001.000.000,- (Satu milyar satu juta rupiah) untuk pengadaan lima unit mobil ambualnce serta peralatan medis atas perintah lisan dari Ir. Kurnia Rajasyah Saragih, MM selanjutnya disetujui dan didisposisi oleh Plh. Walikota diserahkan kepada Terdakwa –II sebagai pejabat Pemegang Kas Umum Daerah Pemerintah Kotamadya mencairkan uang tersebut tanggal 23 April 2004 sebagai panjar yang ternyata sudah nilai keseluruhan dari harga barang tanpa ada bukti-bukti pendukung dan tanpa ada persetujuan dari Kepala Bagian Keuangan Pemerintah Kotamadya Pematang Siantar diserahkan  kepada Dra. Fatimah Siregar sebesar Rp. 630.000.000,- (Enam ratus tiga puluh juta rupiah) dan kepada Plh.Walikota Ir. Kurnia Rajasyah Saragih, MM melalui ajudannya Suherman sebesar Rp. 371.000.000,- (Tiga ratus tujuh puluh satu juta rupiah) atas perintah lisan dari Plh. Walikota Pemerintah Kotamadya Pematang Siantar dan ternyata sesudah 5 (lima) unit mobil ambulance roda empat dan peralatan medisnya sudah diserahkan penyedia Barang pada bulan Desember 2004 pada tahun Angaran berjalan namun pembayarannya belum terealisasi seluruhnya hingga tanggal 27 Juni  2006.

 

               Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka jelas bahwa perbuatan terdakwa–I dengan Terdakwa–II serta saksi Ir. Kurnia Rajasyah Saragih, MM sebagai yang memerintahkan dan Dra. Fatimah Siregar sangat berkaitan erat sehingga dengan demikian Majelis berpendapat bahwa unsur ini telah terpenuhi.

               Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas maka Majelis berpendapat bahwa tidak ada ditemukan suatu alasan baik pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan kesalahan Terdakwa–I dan Terdakwa–II dan oleh karena itu haruslah dinyatakan bersalah dan harus dijatuhi hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.

               Menimbang, bahwa sebelum dijatuhi hukuman perlu dipertimbangankan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terhadap diri Terdakwa–I dan Terdakwa–II.

Hal-hal yang Memberatkan :

-    Perbuatan Terdakwa – I dan terdakwa – II merugikan  Keuangan Negara.

            Hal-hal yang Meringankan :

-    Perbuatan terdakwa–I dan terdakwa–II dilakukan karena mengikuti perintah Plh. Walikota Pemko Pematang Siantar.

-    Terdakwa–I dan terdakwa–II tidak ada menikmati hasilnya.

-    Terdakwa–I Terdakwa–II bersikap sopan dan berterus terang di persidangan.

-    Khusus terdakwa–I sudah membayar sendiri dari uang pribadinya sebesar Rp. 590.000.000,- (Lima ratus sembilan puluh juta rupiah) ke pihak penyedia barang.

 

               Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal yang memberatkan tersebut kiranya pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa–I dan Terdakwa–II sebagaimana termuat dalam amar Putusan ini telah sebanding dan setimpal dengan kesalahannya.

               Menimbang, bahwa selain mempertimbangkan tujuan penjatuhan pidana yang terutama bukan sebagai pembalasan belaka tetapi adalah untuk mendidik terdakwa dan masyarakat yang antara lain jangan sekali-kali melakukan "Korupsi".

               Menimbang, bahwa Terdakwa – I dan Terdakwa – II telah menjalani masa penahanan selama dalam pemeriksaan perkara ini, maka seluruh masa penahanan tersebut harus dikurangkan segenapnya dari hukuman yang dijatuhkan.

               Menimbang, bahwa karena tidak ada suatu alasan yang mengharuskan terdakwa–I dan terdakwa–II untuk dilepaskan dari tahanan maka Terdakwa–I dan terdakwa–II harus dinyatakan tetap ditahan.

               Menimbang, bahwa karena barang bukti yang diajukan dipersidangan telah disita secara sah dan akan dipergunakan dalam berkas perkara lain maka statusnya akan ditentukan sebagimana termuat dalam amar putusan ini.

               Mengingat Pasal 3 Undang Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan peraturan hukum yang bersangkutan.

 

M   E   N   G  A  D   I    L   I

 

               Menyatakan bahwa terdakwa–I Dr. H. Andi Azis Rangkuti dan terdakwa–II Efendi Maulana Harahap, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana " Turut Serta Melakukan Korupsi ".

               Menjatuhkan pidana penjara terhadap kedua terdakwa tersebut masing-masing selama 1 (satu) tahun dan pidana denda terhadap kedua tersebut pula masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,- ( Lima puluh juta rupiah ) Subsideir 2 ( dua ) bulan kurungan.

               Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani kedua terdakwa tersebut dikurungkan segenapnya dengan pidana penjara yang dijatuhkan tersebut.

            Memerintahkan agar kedua terdakwa tersebut tetap ditahan:

            Memerintahkan barang bukti berupa :

1.    Kontrak Surat Perjanjian Jual Beli No. 915/4199/VII/2004 tanggal 16 Agustus 2004, dst...

            Membebani kedua Terdakwa tersebut membayar biaya perkara masing-masing Rp. 5000,- ( Lima Ribu Rupiah ).

                        Demikianlah diputuskan dalam musyawarah Hakim Majelis pada hari Senin tanggal 22 Januari 2007, oleh kami SOEKO SANTOSO, SH  sebagai Hakim Ketua dan N. SIMANJUNTAK, SH serta F. SORMIN, SH masing-masing sebagai Hakim Anggota, Putusan mana diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 24 Januari 2007 oleh Hakim Ketua tersebut dengan dihadiri oleh Hakim-hakim Anggota, dengan dibantu oleh IRWAN SIBARANI, SH Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Pematang Siantar tersebut serta dihadiri oleh SITI MARTITI MANULLANG, SH sebagai Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Pematang Siantar dan dihadiri oleh Terdakwa–I dan Penasehat Hukum serta Terdakwa– II dengan Penasehat Hukumnya.

 

 

P     U    T   U   S  A   N

Nomor : 123 / Pid / 2007 / PT – Mdn

 

                "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"

 

               PENGADILAN TINGGI MEDAN yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam peradilan tingkat banding telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa-terdakwa :

1.   Nama Lengkap             : Dr. ANDI AZIS RANGKUTI.

      Tempat Lahir                  : Medan

      Umur/Tanggal Lahir      : 45 Tahun/26 Maret 1961

      Jenis Kelamin                : Laki–laki

      Kebangsaan                   : Indonesia

      Tempat Tinggal              : Jl. Padangsidempuan No. 30

                                                  Kel. Timbang Galung

                                                   Pematang Siantar.

      Agama                             : Islam

      Pekerjaan                        : Pegawai Negeri Sipil (PNS)

      Pendidikan                     : Sarjana (S-1)

 

            2.   Nama Lengkap              : EFENDI MAULANA HARAHAP

                  Tempat Lahir                  : Tanjung Balai

                  Umur / Tanggal Lahir    : 40 Tahun / 20 Agustus 1966

                  Jenis Kelamin                : Laki – laki

                  Kebangsaan                   : Indonesia

                  Tempat Tinggal              :  Jl. Alamanda Martoba U D3-2 KS-Permai Kel. Tambun Nabolon Kec. Siantar Martoba Kodya Pematang Siantar.

                  Agama                             : Islam

                  Pekerjaan                        : Pegawai Negeri Sipil (PNS)       

                  Pendidikan                     : SMEA

 

               Menimbang, bahwa Terdakwa–I telah menunjuk Penasehat Hukumnya yaitu  EFI RISA JUNITA, SH, Advokat / Penasehat Hukum, berkantor di jalan Ade Irma Suryani No. 43 B Pematang Siantar, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 07 September 2006.

               Menimbang, bahwa Terdakwa–II telah menunjuk Penasehat Hukumnya yaitu SARBUDIN PANJAITAN, S.H, Advokat/Penasehat Hukum, yang berkantor di jalan Merdeka No. 112 Pematang Siantar, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 23 Mei 2006.

 

            PENGADILAN TINGGI TERSEBUT :

            Telah membaca, memperhatikan surat-surat yang berhubungan dengan perkara ini :

1.    Surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum berbunyi sebagai berikut :

DAKWAAN PERTAMA :

            Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Jo. Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Atau

DAKWAAN KEDUA :

            Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

2.    Salinan Putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar tanggal 24 Januari 2007 Nomor : 328 /Pid-B/2006/PN–PMS, yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

-          Menyatakan bahwa terdakwa - I. Dr. H. ANDI AZIS RANGKUTI dan terdakwa – II EFENDI MAULANA HARAHAP, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "TURUT SERTA MELAKUKAN KORUPSI ".

-          Menjatuhkan Pidana Penjara terhadap kedua terdakwa tersebut masing-masing selama 1 (satu) tahun dan pidana Denda terhadap kedua terdakwa tersebut pula masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,- ( Lima Puluh Juta Rupiah ) Subsidair 2 ( dua ) bulan kurungan.

-          Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani kedua terdakwa tersebut dikurangkan segenapnya dengan pidana penjara yang dijatuhkan tersebut :

Memerintahkan agar kedua terdakwa tersebut tetap ditahan.

                        Memerintahkan barang bukti berupa :

1.    Kontrak Surat Perjanjian Jual Beli No. 915/1499/VIII / 2004 tanggal 16 Agustus 2004  dst,...

            Menimbang, bahwa setelah memperhatikan isi Memori Banding dari Penasehat Hukum Terdakwa–I dan Terdakwa–II juga mengenai isi Kontra Memori dari Jaksa Penuntut Umum, majelis Pengadilan Tinggi akan memberikan pertimbangan- pertimbangan sebagai berikut :

1.    Bahwa kedua Penasehat Hukum terdakwa–I dan Terdakwa -II, intinya membahas mengenai unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 Undang Undang No. 31 Tahun 1999, dan berpendapat unsur – unsur tersebut tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, oleh karena mana Terdakwa harus dibebaskan, hal mana tidak dapat diterima Majelis Hakim Pengadilan Tinggi karena uraian unsur–unsur tersebut telah secara jelas dan sempurna telah dipertimbangkan oleh Hakim Tingkat Pertama dan menurut Pengadilan Tinggi pertimbangan tersebut telah benar dan tepat.

2.    Bahwa mengenai Kontra Memori Banding yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, Majelis Pengadilan Tinggi dapat menerimanya sepanjang mengenai uraian dan unsur–unsur dari Pasal 3 Undang Undang No. 31 Tahun 1999.

            Menimbang, bahwa oleh karena itu Memori Banding dari Penasehat Hukum terdakwa–I dan Terdakwa–II haruslah ditolak.

            Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi berpendapat pula, oleh karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum sebagaimana tersebut dalam dakwaan kedua telah memenuhi unsur-unsur pidana tersebut, yakni Pasal 3 Undang  Undang No. 31 Tahun 1999, dan telah terbukti pula secara sah dan meyakinkan dan pertimbangan hakim tingkat pertama tersebut diambil alih dan dijadikan sebagai pertimbangan Pengadilan Tinggi sendiri dalam memutuskan perkara ini di tingkat banding, kecuali mengenai pidana yang dijatuhkan atas diri terdakwa-terdakwa.

            Menimbang, bahwa mengenai pidana denda menurut Majelis Pengadilan Tinggi, oleh karena pidana denda yang disebutkan dalam Pasal 3 Undang Undang No. 31 tahun 1999 itu bersifat alternatif, maka Pengadilan Tinggi tidak akan menjatuhkan pidana denda, yang tidak seperti denda yang imperatif tersebut dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.

            Menimbang, bahwa dari fakat-fakta di persidangan, Terdakwa-I dan Terdakwa–II tidak ada menikmati uang yang dikeluarkan oleh Terdakwa–II dari Kas Pemko Pematang Siantar, malahan uang Terdakwa–I sendiri sejumlah Rp.590.000.000,- (Lima ratus sembilan puluh juta rupiah) membayar Ke PT. Astra Internasional Tbk Isuzu yang sampai saat ini belum diganti.

            Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan hukuman terhadap diri terdakwa–terdakwa perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan :

Hal – hal yang memberatkan :

-    Perbuatan Terdakwa–I dan Terdakwa–II merugikan Keuangan Negara.

Hal – hal yang meringankan :

-    Perbuatan Terdakwa–I dan Terdakwa–II dilakukan karena mengikuti perintah Plh. Walikota Pemko Pematang Siantar.

-    Terdakwa–I dan Terdakwa–II tidak ada menikmati hasilnya.

-    Terdakwa–I dan Terdakwa–II bersikap sopan dan terus terang di Persidangan.

-    Terdakwa–I telah membayar dari uang pribadinya sendiri sebesar Rp. 590.000.000,- (Lima ratus sembilan puluh juta rupiah).

            Menimbang, bahwa tentang hukuman yang sepantasnya dijatuhkan atas diri terdakwa-terdakwa, maka Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan pidana mengacu pada Pasal 14 a KUHP dengan melihat peranan yang dilakukan oleh terdakwa–terdakwa, sehingga cukup alasan apabila terdakwa– terdakwa dijatuhi hukuman percobaan sebagaimana yang akan disebutkan dalam amar putusan dibawah ini :

            Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor : 328/Pid.B/2006/PN–PMS tanggal 24 Januari 2007, haruslah diubah sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan dan pidana denda atas diri terdakwa – terdakwa, sedangkan putusan selebihnya dapat dikuatkan yang amarnya seperti tersebut dibawah ini :

            Menimbang, bahwa karena terdakwa–terdakwa dijatuhi pidana, maka kepadanya dibebani membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan.

            Mengingat Pasal 197, 233, 241 KUHAP Jo. Pasal 3 Undang Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 (1) ke – 1 KUHP dan Pasal-pasal lain dari peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

            -----------------------M E N G A D I L I-----------------------

-    Menerima permintaan banding dari terdakwa-I. Dr. ANDI AZIS RANGKUTI dan terdakwa-II. EFENDI MAULANA HARAHAP.

-    Mengubah putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar tanggal 24 Januari 2007 Nomor 328/Pid.B/2006/Pms yang dimintakan banding tersebut sekedar pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa–terdakwa sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

-    Menyatakan terdakwa-I. Dr. ANDI AZIS RANGKUTI dan terdakwa-II. EFENDI MAULANA HARAHAP terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: "Turut Serta Melakukan Korupsi ".

-    Menjatuhkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani oleh terhukum-terhukum, kecuali kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim, oleh karena terhukum-terhukum sebelum lewat tempo percobaan selama 1 (satu) Tahun dan 3 (tiga) bulan membuat perbuatan yang boleh dihukum.

-    Menetapkan barang bukti berupa foto copy

1.    Kontrak Surat Perjanjian Jual Beli No.915 / 4199 / VIII / 2004 tanggal 16 Agustus 2004 dst,....

Tetap terlampir dalam berkas perkara, dimana asli surat-surat dijadikan barang bukti dalam perkara lain atas nama terdakwa Dra. FATIMAH SIREGAR.

-    Membebani terdakwa-terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat pengadilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan masing–masing sebesar Rp. 5.000,- (Lima Ribu Rupiah )

            Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan majelis hakim pada hari Selasa tanggal 17 April 2007 oleh kami: HAOGOARO HAREFA, SH wakil Ketua Pengadilan Tinggi Medan Selaku Ketua Sidang H. INTO AMNYA TANJUNG, SH.MH dan MANUASA MALAU, SH masing-masing Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan selaku Anggota Sidang, putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Sidang dihadiri anggota sidang dan dibantu oleh : JOHORLAN DONGORAN, SH Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Medan, tidak dihadiri Terdakwa–I dan-II serta Jaksa Penuntut Umum.

            Bahwa atas Putusan Pengadilan Tingkat Banding tersebut di atas, sebagai alasan pertimbangan Majelis Hakim untuk meringankan hukuman terdakwa–terdakwa salah satunya adalah karena perbuatan terdakwa–I dan terdakwa–II dilakukan karena mengikuti perintah Plh. Walikota Pemko. Pematang Siantar.

Analisis Kasus :

            Bila melihat pertimbangan hukum Majelis Hakim pada tingkat Banding Pengadilan Tinggi Medan tersebut, yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa–terdakwa dilakukan karena mengikuti perintah Plh.Walikota Pemko. Pematang Siantar, seharusnya terdakwa–terdakwa tidak dapat dipidana, karena perbuatan terdakwa-terdakwa adalah atas perintah Plh. Walikota Pemko. Pematang Siantar selaku atasan terdakwa – terdakwa yang berwenang memberikan perintah jabatan.

            Di samping alasan hukum tersebut bila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir No. 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dinyatakan “ Pemegang Kekuasaan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah adalah Kepala Daerah yang karena jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan Keuangan Daerah dan mempunyai kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewenangan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD ) dan Pasal 1 butir No. 5 dinyatakan “ Bendahara Umum Daerah adalah Pejabat yang diberi kewenangan oleh pemegang kekuasaan umum Pengelolaan Keuangan Daerah untuk mengelola penerimaan dan Pengeluaran Kas Daerah serta segala bentuk kekayaan daerah lainnya “.

            Karena perbuatan terdakwa–terdakwa atas perintah atasannya langsung yaitu Plh. Walikota Pematang Siantar, maka mengacu pada ketentuan Pasal 51 KUHPidana sebagaimana telah penulis kaji pada halaman terdahulu sebagai ketentuan hukum  alasan pembenar atau dasar yang meniadakan hukuman (Strafiutsluitingsgronden) seharusnya terdakwa– terdakwa tidak dapat dihukum dan harus dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum. Oleh karena itu penulis tidak sependapat dengan Pengadilan Negeri Pematang Siantar dan Pengadilan Tinggi Medan yang memidana bawahan Terdakwa-I Dr. Andi Aziz Rangkui dan II Efendi Maulana Harahap dalam menjalankan perintah atasannya.

         Pendapat penulis di atas sejalan dengan pendapat Mahkamah Agung RI dalam perkara korupsi terdakwa Ir.Akbar Tanjung ketika menjabat Menteri Sekretaris Negara, putusan perkara pidana No. 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004  yaitu putusan bebas, dengan alasan penghapusan pidana karena terdakwa melaksanakan perintah jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat(1) KUH.Pidana.

 



               [27] Andi Zainal Abidin, 1983, Hukum Pidana – I, Sinar Grafika, Jakarta,  halaman 260.

                  [28] Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan menuju kepada tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Prenada Media, Jakarta, halaman 163.

                 [29] Soejatna Soeneosoebrata, Nopember 2005, Apa Peranan Akuntan di dalam mengungkapkan tindak pidana, majalah Hukum Varia Peradilan tahun ke XX no. 241, halaman 50.

               [30] P. A. F. Lamintang, 1984, Op.Cit,  halaman 500

               [31] Ibid. halaman 502

               [32] Sarbudin Panjaitan, Pertanggungjawaban pidana korupsi atas perintah jabatan, study kasus, 2007,Tesis, PPs PMIH Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara,Medan, halaman 40 

                 [33] ibid

                 [34] P.A.F. Lamintang, op .cit,  halaman 504

                [35] M.A. Moegni Djojodirdjo, 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Pradya Paramita, Jakarta,  halaman 64.

                [36] Ibid. halaman 65.

                [37] Ibid.

               [38] P.A.F Lamintang, 1990, Hukum Pidana Indonesia Sinar Baru, Bandung,  halaman 47.

               [39] Ibid, halaman. 508.

               [40] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, 1983, Op. Cit,  halaman. 75.

               [41] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa, halaman 36–37, bagian satu

               [42] Amin Sutikno, Juli 2007, Dakwaan dan Pembuktian dalam Perkara Korupsi, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun ke XXII No. 260, halaman 63.

                [43] Martiman Prodjohamidjojo, 1983, Sitem Pembuktian dan Alat-alat bukti, Ghalia Indonesia Jakarta,  halaman 17.

                [44] Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,  halaman 235.

             [45] Baharuddin Lopa, 2001, Op. Cit,  halaman 106





BAB IV

 

KEBIJAKAN HUKUM DALAM PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

 

A.   PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI

            Meningkatnya tindak pidana korupsi akan membawa bencana terhadap keuangan negara, kelangsungan kehidupan masyarakat Indonesia dan  perekonomian Nasional serta akan  menghambat pembangunan nasional di semua sektor. Tindak pidana korupsi sudah meluas dan sistematis yang merupakan pelanggaran terhadap hak–hak sosial dan hak–hak ekonomi masyarakat, oleh karena itu penanggulangan tindak pidana korupsi tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, melainkan harus dituntut dengan cara–cara yang luar biasa pula, termasuk pemidanaan oleh pengadilan harus setimpal agar mempunyai efek jera, dalam konsekuensinya akan nampak bagaimana efektivitas hukum dan Undang– undang berjalan sebaik-baiknya.

            Menurut Baharuddin Lopa, mencegah kolusi dan korupsi tidak begitu sulit kalau kita semua sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan. Saya perlu tekankan ini, sebab betapa pun sempurnanya peraturan kalau niat untuk korup tetap ada di hati yang memiliki peluang untuk melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut korupsi akan tetap terjadi. Faktor mental yang paling menentukan, selain itu hendaklah dipahami juga tanggungjawab atas perbuatan terkutuk ini (apabila dilakukan dengan cara kolusi) tidak hanya terletak pada mental para pejabat saja, tetapi juga terletak pada mental pengusaha tertentu yang berkolusi yang ingin menggoda oknum pejabat untuk mendapatkan fasilitas dan keuntungan yang sebesar– besarnya.[44]

            Kalau pemimpin dan pejabat kita mampu menjadi teladan untuk bersih dari perbuatan korupsi, hal ini sangat membantu. Kalau golongan atas sudah bersih diharapkan pejabat–pejabat menengah kebawah pun akan berbuat yang sama. Dalam hubungan keteladanan ini perlu kiranya kita ingat kembali salah satu hadis Rasulullah yang intinya akan memperoleh terus amal bagi seseorang yang mampu memberi teladan yang positif kepada sesamanya, dan sebaliknya akan terus diganjar dosa diikuti dengan siksaan yang pedih bagi seseorang yang memberi contoh perbuatan tidak terpuji bagi sesamanya.[45]

                Dalam melakukan penanggulangan korupsi pertama–tama harus dicari penyebabnya, lalu kemudian penyebab itu dihilangkan dengan cara prevensi disusul dengan Pendidikan (peningkatan kesadaran hukum) masyarakat disertai dengan tindakan represif ( pemidanaan ). Untuk mencegah terjadinya korupsi, bagi pejabat yang menduduki jabatan yang rawan korupsi seperti bidang pelayanan masyarakat, pendapatan negara, penegak hukum dan pembuatan kebijaksanaan harus didaftar kekayaannya sebelum menjabat jabatannya, sehingga mudah diperiksa pertambahan kekayaannya dibandingkan dengan pendapatannya yang resmi.

 

 

 

 

   Menurut Sudhono Iswahyudi, strategi pemberantasan tindak pidana korupsi ada 2 (dua) macam yaitu :

A.   Prefentif.

1.    Penyempurnaan Perundang–undangan tentang KKN.

Suatu peraturan Perundang–undangan akan efektif bila memenuhi persyaratan teoritis dan nilai kemanfaatan yang tinggi, yaitu terpenuhinya syarat–syarat sebagai berikut :

a.    Juridis, yaitu apabila Peraturan perundang– undangan itu dibuat dengan didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelse) dan menurut cara yang telah ditetapkan (W.Zevebergen).

b.    Sosiologis, yaitu apabila peraturan perundang– undangan itu dapat berlaku efektif, artinya baik yang dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan ), atau kaidah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).

c.    Filosofis, artinya sesuai dengan cita–cita hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat sebagai nilai hidup yang tinggi.

 

2.    Penyempurnaan Kelembagaan dan Tata Kerja Aparat Penegak Hukum.

Penegakan hukum terhadap kasus–kasus KKN akan efektif  bila didukung oleh organisasi dan jumlah personil penegak hukum yang memadai termasuk sarana dan prasarana serta sistem operasionalnya, aparat yang operasionalnya, aparat yang profesional dengan integritas moralnya yang tinggi.

 

 

Selain faktor–faktor tersebut di atas, ada pula faktor– faktor pendukung bagi pelaksanaan berlakunya suatu peraturan yaitu pertama, kaidah hukum itu sendiri harus sistematis dan ideal, tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat baik secara vertikal maupun horizontal, dan dalam pembuatannya harus disesuaikan dengan persyaratan juridis yang telah ditentukan, kedua, petugas penegak hukum yang berkualitas dalam menentukan batas–batas kewenangan dan kemampuan menerapkan hukum serta dalam pengambilan kebijaksanaan, ketiga, adanya kecukupan fasilitas dan tingkat kesejahteraan penegak hukum yang memadai sehingga dapat diharapkan terjaminnya pelaksanaan kaidah hukum yang telah ditetapkan, keempat, tingkat kesadaran hukum masyarakat yang termasuk dalam ruang lingkup peraturan tersebut artinya penerapan dan pelaksanaan hukum perlu mempertimbangkan hal–hal non juridis dengan mengingat tingkat sosial warga masyarakat dan sarana pengendalian sosial lainnya

3.    Penyuluhan dan Penerangan Hukum

Program penyuluhan dan penerangan hukum oleh aparat penegak hukum (Kepolisian dengan Binmasnya, Kejaksaan dengan Binmatkumnya dan pengadilan dengan Kadarkumnya) telah berlangsung sejak Tahun 80-an. Secara kuantitatif, program–program penyuluhan hukum ini memang menunjukkan capaian angka yang tinggi, namun dari segi kualitas hasil penyuluhan–penyuluhan itu masih perlu dipermasalahkan  karena parameter untuk menghukumnya juga masih belum jelas. Bagaimana juga program ini tetap dipandang sebagai salah satu upaya preventif yang perlu dilanjutkan dengan berbagai penyempurnaan metoda dan pelaksanaannya.

4.    Pemantauan terhadap proyek–proyek yang rawan KKN.

Upaya preventif yang dilakukan oleh berbagai aparat pengawasan baik internal maupun external terhadap instansi–instansi pemerintahan maupun BUMN baik di tingkat pusat maupun sampai ke daerah telah dilakukan dengan sistem Pengawasan Bulit In controle (WASKAT) dan juga oleh aparat pengawasan internal (IRJEN/ WASDA/SPI). Di samping itu masih ada proses audit rutin oleh BPK/BPKP atau audit dari akuntan–akuntan publik. Namun ternyata masih banyak juga terjadi penyimpangan yang berindikasi korupsi. Sampai saat ini aparat penegak hukum tidak memiliki suatu sistem atau hukum yang dapat melakukan pemantauan secara langsung terhadap proyek– proyek yang rawan korupsi. Oleh karena itu diperlukan peran serta masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 41 UUPTPK sangat diharapkan dapat membongkar kasus–kasus korupsi yang terjadi.

 

B.   Represif.

Upaya Represif yang dilakukan pemerintah dalam pemberantasan korupsi adalah melalui penegakan hukum. Pemeriksaan terhadap kasus tindak pidana korupsi, khususnya untuk tingkat penyidikan sekarang ini dapat dilakukan oleh 3 (tiga) instansi yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).[46]

            Dalam Pasal 13 Undang Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan, dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut :

a.    Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara.

b.    Menerima Laporan dan menetapkan status gratifikasi.

c.    Menyelenggarakan Program Pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan .

d.    Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi.

e.    Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum.

f.     Melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

 

            Tindakan pencegahan korupsi dapat dilakukan dalam 4 (Empat) cara yaitu :

1.    Meningkatkan pengawasan dan pengendalian mekanisme Administrasi yaitu unsur pengawasan tiap–tiap Departemen ditingkatkan, kualitas dan kuantitas aparat pengawasan.

2.    Perlu tiga Will.

Political Will. Tekad pemerintah menanggulangi korupsi.

a.    Di bidang Tata Usaha Negara yaitu pengawasan terhadap mekanisme Adminstrasi Negara dan Peradilan Tata Usaha Negara.

b.    Pendayagunaan Undang–Undang tindak pidana korupsi.

c.    Pendayagunaan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan.

 

 

Social Will : Menumbuhkan anti korupsi dalam masyarakat.

                  Human atau Individual Will.

a.    Menumbuhkan keinginan perorangan untuk tidak korupsi.

b.    Menumbuhkan Sense Of Being, Sense Of Belonging, Sense Of Responsibility atas negara.

 

Ketiga Will : Konsepsi penanggulangan korupsi secara terpadu berkaitan dengan Peradilan Pidana Represif, Preventif sebagai berikut :

1.    Pendayagunaan Aparat Penegak Hukum (Organisasi, Sarana, Personil ).

2.    Undang Undang Tindak Pidana Korupsi yang efektif dalam menindak korupsi.

3.    Mekanisme Administrasi Peradilan yang cepat tepat, murah, sederhana.

4.    Koordinasi antara Penegak Hukum / Badan Extra.

5.    Partisipasi masyarakat.

 

Dr. Andi Hamzah (Korupsi di Indonesia) pendekatan Normatif :

a.    Norma Agama : Korupsi itu Dosa.

b.    Norma Kebiasaan dan Kesusilaan.

(1). Di kutuk Masyarakat.

(2). Budaya Malu.

 

3.    Memberdayakan Komisi pemeriksaan yang memeriksa kekayaan Penyelenggaraan Negara.

4.    Memberlakukan sistem pembuktian terbalik pada Undang Undang Tindak Pidana Korupsi.[47]

 

                  Menurut H. Dudu Duswara Machmudin, strategi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia menggunakan 7 (tujuh) metode pendekatan sebagai berikut :

1.    Pendekatan juridis.

2.    Pendekatan moralis dan agamis.

3.    Pendekatan edukatif.

4.    Pendekatan kultural – sosial.

5.    Pendekatan Struktural.

6.    Pendekatan optimal.

7.    Pendekatan sanksi setimpal.

 

                  Pendekatan juridis, merupakan sarana utama yang sangat strategis dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, asal saja pendekatan ini tidak lagi menggunakan cara–cara yang konvensional, sebab cara demikian sudah dianggap tidak memadai lagi. Hal ini mengingat modus operandi tindak pidana korupsi sekarang sudah bersifat sistematik, meluas, dan sudah merupakan "Extra Ordinary Crimes". Oleh karena itu dalam pendekatan ini harus menggunakan pendekatan modern yang intinya menempatkan kepentingan bangsa dan negara atau hak– hak sosial – ekonomi rakyat di atas kepentingan hak–hak individu tersangka atau terdakwa, walaupun secara asasi tersangka atau terdakwa juga mempunyai hak untuk membela diri.

                   Pendekatan Moralis dan Agamis, merupakan sarana penting dalam menunjang strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, sebab manakala pendekatan ini dianggap berhasil, maka tolok ukur keberhasilan melalui pendekatan ini bukan semata–mata merupakan keberhasilan suatu produk politik para legislator, melainkan juga sebagai sikap tindak yang konsisten dari para penegak hukum yang baik bersifat preventif–moralis– agamis maupun yang bersifat represif – proaktif. Pendekatan moralistis–agamis yang penuh nuansa keimanan ini merupakan rambu–rambu pembatas guna meluruskan jalannya langkah penegak hukum dan juga untuk memperkuat integritas penyelenggaraan negara agar selalu memegang teguh dan menjunjung tinggi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rangka penegakan hukum terhadap korupsi.

                  Pendekatan Edukatif melengkapi kedua pendekatan tersebut diatas dan berfungsi sebagai motivator dalam meningkatkan daya nalar masyarakat, sehingga dapat memahami secara komprehensif latar belakang dan faktor– faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi serta langkah–langkah pencegahannya.

                  Pendekatan Sosial Kultural berfungsi membangun kultur masyarakat yang mencela dan mengutuk tindak pidana korupsi dengan melakukan kampanye publik yang meluas dan merata ke seluruh pelosok  tanah air. Pemberdayaan partisipasi publik bertujuan menumbuh kembangkan budaya anti korupsi di kalangan masyarakat mulai tingkat taman kanak–kanak sampai ke tingkat Pendidikan Agama.

 

                  Pendekatan Struktural, yaitu dengan jalan mengadakan perampingan terhadap Depatemen atau Kementerian yang ada dan disesuaikan dengan kebutuhan utama, sehingga akan sesuai dengan pepatah, "Minim Struktur, kaya Fungsi". Pendekatan ini pada akhirnya akan membuahkan efesiensi yang tidak sedikit, sehingga akan mengurangi berbagai kebocoran yang tidak perlu dan meminimalisasi pengangguran tidak kentara (disguised unemployment ).

                  Pendekatan Optimal dilakukan dengan jalan mengoptimalkan pemberdayaan Kementerian yang dipertahankan dan dalam pengajian dilakukan dengan cara adil melalui merit system. Kepada mereka yang mempunyai kekuasaan, agar tidak korup diberikan gaji yang tinggi dan memadai. Kwik Kian Gie menyebutkan sebagai kehidupan yang "nyaman dan gagah"

                        Pendekatan sanksi setimpal digunakan kepada para terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Namun manakala semua pendekatan sudah dilakukan masih juga ada seseorang atau sekelompok orang melakukan korupsi secara besar–besaran, terutama yang dilakukan para pejabat tinggi, maka idealnya Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan hukuman yang tinggi dan hakim menjatuhkan pidana optimal agar mempunyai efek jera.[48]

 

            penulis sependapat dengan ketujuh pendekatan di atas, dapat menjadi kunci keberhaslan daam pencegahan dan pemberantasan tindak pidna korupsi di Indonesia dengan ukses dan berhasil disertai hati dan tekad yang kuat

                          

B.   PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

            Penegakan hukum dikalangan masyarakat, pejabat, pengamat, mahasiswa, kalangan pers dan anggota masyarakat biasa telah menjadi ungkapan sehari – hari, dan hampir semua ungkapan menyatakan, hingga saat ini penegakan hukum belum memuaskan. Bahkan ada yang menyatakan penegakan hukum makin jauh rasa keadilan, mengapa demikian ? karena didapati berbagai putusan penegak hukum ternyata tidak mampu memberi kepuasan atau memenuhi rasa keadilan para pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya.

                  Di samping ketujuh pendekatan di atas, penulis berpendapat agar Korupsi dapat ditanggulangi dan setidaknya mempersempit untuk melakukan korupsi maka Komisi Pemberantasan Korupsi (K.P.K) jangan hanya dibentuk di Ibukota Jakarta, tetapi harus dibentuk sampai ketingkat Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, dengan adanya KPK di tingkat daerah maka pejabat yang ada di daerah akan merasa takut melakukan Korupsi, selain  itu juga penyidik KPK harus lebih efesien dengan cepat melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus korupsi.

                Memang penegakan hukum sebagai bentuk konkrit penerapan hukum sangat mempengaruhi secara nyata perasaan hukum, kepuasan hukum, manfaat hukum, kebutuhan atau keadilan hukum secara individu atau sosial, tetapi karena penegakan hukum tidak mungkin terlepas dari aturan hukum, pelaku hukum, lingkungan tempat terjadi proses penegakan hukum, maka tidak mungkin ada pemecahan persoalan penegakan hukum apabila hanya melirik pada proses penegakan hukum, apalagi lebih terbatas pada penyelenggaraan peradilan.

                         

.

Menurut Bagir Manan, dari kenyataan yang ada, ada 2 (dua) aspek sosial yang menghambat penegakan hukum yang benar dan adil, Pertama : bersumber dari rasa takut atau apatisme masyarakat untuk membela keadilan bagi diri maupun lingkungannya. Hal ini dapat terjadi karena susunan masyarakat yang menjelmakan sikap serba menerima kehendak penguasa atau karena sistem penindasan yang menghilangkan keinginan atau keberanian untuk berjuang atau membela kepentingannya. Kedua : terutama sejak masa reformasi, didapati berbagai tekanan publik yang acapkali berlebihan dalam penegakan hukum. Pendapat atau pandangan publik memang sangat penting untuk mencegah kesewenangan–wenangan atau penyalahgunaan dalam penegakan hukum. Tetapi yang harus dijaga adalah jangan sampai pendapat atau pandangan tersebut menjadi suatu tekanan yang merendahkan atau menimbulkan rasa takut pelaku penegakan hukum. Apabila semacam ini terjadi maka penegak hukum yang benar dan adil akan sama jauhnya dengan penegak hukum dalam suatu masyarakat yang serba berserah diri dengan kehendak kekuasaan. Publik yang menghendaki penegakan hukum yang benar dan adil harus menerima syarat untuk melakukannya dengan cara – cara yang benar dan adil juga. Publik yang menghakimi sendiri suatu peristiwa pelanggaran hukum bukanlah cara menegakkan hukum secara benar dan adil, melainkan suatu kekejaman yang melanggar hukum.[49]

 

 

 

 

         Menurut M. Yahya Harahap, kesan umum penegakan yang berlangsung selama ini di dalam kehidupan Negara Hukum Indonesia terlihat gambaran dan kesan umum tentang berbagai cacat dan bopeng–bopeng yang melekat pada rupa dan wajah penegak hukum, antara lain:

  1. Sudah menjadi pembicaraan umum tentang adanya permainan Kolusi  (Collution), berupa persengkongkolan curang (Fraudulant) atau ketidak jujuran (deceit) untuk membenarkan kebohongan dan penipuan maupun untuk memenangkan pembohong dan penipu serta mengalahkan yang jujur dan benar. Suap, uang sogok (bribery ) sering disuarakan meskipun sulit untuk di buktikan.
  2. Sering terdengar mencuat kepermukaan mengenai pemerasan (Blackmail ) yang dilakukan aparat penegakan hukum yang terjadi di setiap instansi mulai dari penyidik, Penuntut Umum dan Peradilan, Pertanahan, Bea Cukai dan sebagainya. Memang sulit untuk membuktikan, tetapi dapat dirasakan kejadian dan kenyataannya dari Pantulan Ungkapan " The Law Grind The Poor, But The Richmen Rule The Law " Hukum hanya menindas yang miskin, tetapi yang kaya mengatur hukum.
  3. Sering dipermasalahkan mengenai peristiwa penyalahgunaan ketentuan Hukum Acara atau " a buse of legal procedure " di bidang pidana masih sering terjadi tindakan upaya paksa yang tidak memenuhi ketentuan Undang–undang, Sistem Inkuisitor dalam proses penyidikan, masih mewarnai penegakan hukum. Pengadilan dan ketidak pedulian akan Hak Asasi Manusia (human right) masih sering dijeritkan dan diratapi masyarakat lemah (Powerless).

 

 

      Akan tetapi dibalik itu kepada orang tertentu dapat berkeliaran dan bersembunyi dibalik ketiak kita, meskipun sudah cukup terkumpul alat bukti permulaan untuk menahan dan menghadapkan kedepan pengadilan, ada yang penyidikan atau penuntutannya dihentikan, adapun  yang diajukan ke pengadilan secara Inabsensia.[50]

            Secara Konsepsional, maka inti dari arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai– nilai yang terjabarkan di dalam kaidah–kaidah yang mantap mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).

 

   Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkret.[51]

 

Faktor–faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah :

1.    Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan akan dibatasi pada Undang–undang saja.

2.    Faktor penegakan hukum, yakni pihak–pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3.    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4.    Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5.    Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[52]

Dalam proses penegakan hukum banyak hal dan tindakan penegakan hukum yang merugikan masyarakat, saksi korban, saksi–saksi lain maupun kelompok masyarakat tertentu. Asas penegakan hukum yang cepat, sederhana dan biaya ringan hingga saat ini belum sepenuhnya mencapai sasaran seperti yang diharapkan masyarakat. Sejalan dengan itu pula masih ada ditemani sikap dan perilaku penegakan hukum yang merugikan masyarakat maupun keluarga korban.

Demikian juga anggota masyarakat masih ada  melakukan hal–hal yang bertentangan dengan norma hukum yaitu mempengaruhi penegak hukum secara negatif  ketika dalam proses penegakan hukum yang bersangkutan dengan diri pribadi, keluarga atau kelompoknya, baik saat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pada tahap pemeriksaan di sidang Pengadilan maupun pada tahap upaya hukum.

Menurut Baharuddin Lopa, ada 4 (empat) hal positif  yang dapat ditarik dari penegakan hukum yang tegas yakni :

1.    Memulihkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah rakyat akan sepenuh hati mendukung pemerintahnya, karena mereka melihat pemerintahnya tidak main–main dalam menegakkan hukum.

2.    Dengan tindakan penegakan hukum yang tegas berarti melakukan pendidikan sekaligus pencegahan berlanjutnya korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintahan sendiri.

3.    Dapat dilakukan penyelamatan Aset Negara mengapa ? karena dengan adanya penegakan hukum tersebut Aset Negara yang mudah dikorup sebelum dilakukan tindakan tegas, kini dapat diselamatkan demi pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

4.    Para penanam modal tidak ragu–ragu menanamkan modalnya di Indonesia, karena oknum pejabat/pengusaha di Indonesia tidak akan leluasa lagi mengkorup modal yang ditanam sebagai akibat tindakan tegas pemerintahan dalam penegakan hukum.[53]

 

      Dalam praktik penegakan hukum khususnya pemeriksaan terhadap suatu perkara pidana di sidang Pengadilan sering terjadi hal–hal yang bertentangan dengan hukum yang berlaku, contohnnya, ada perkara yang sebenarnya sederhana tidak sulit pembuktiannya, namun di Pengadilan dibebaskan oleh Hakim, lalu masyarakat menuduh hakimnya tidak fair dan telah menerima upeti.

Penyelesaian suatu perkara yang memenuhi rasa keadilan, setiap penegak hukum dalam menyelesaikan perkara  diharapkan dapat jujur, dan bukan saja hakim  dengan Jaksa  yang perlu cermat dan profesional dalam melaksanakan tugasnya, tetap penyidik Polri juga benar–benar melakukan penyidikan mengacu kepada semua Undang–undang dan peraturan yang berlaku. Langkah–langkah inilah yang harus dijalankan oleh para penegak hukum, agar penegakan hukum terjamin sebagaimana dikehendaki semua pihak.

Tidak jarang Putusan bebas oleh Hakim, hal ini disebabkan kurang cermatnya aparat penyidik khususnya Jaksa dalam melakukan penyidikan tindak pidana, demikian juga pada tahap penuntutan dan penyusunan surat dakwaan dimana penuntut umum masih ada yang kurang professional. Hal ini terlihat banyaknya surat dakwaan yang dinyatakan batal oleh Hakim, tetapi hal tersebut bisa saja ada kalanya oknum penegak hukum yaitu penuntut umumnya sendiri sengaja melakukan kesengajaan dengan maksud tertentu agar perkara yang ditanganinya bisa bebas di Pengadilan, di sini kegagalan penunutut umum bukan karena rendahnya profesionalisme, melainkan rapuhnya mental oknum penuntut umum yang bersangkutan.

 

Menurut Achmad Ali, ada 3 (tiga) prioritas utama penegakan hukum di Indonesia untuk saat ini, yaitu penuntasan kasus–kasus :

1.    Korupsi.

2.    penyalahgunaan Narkoba.

3.    Pelanggaran HAM. Berat

 

Sejak serangan yang menghancurkan gedung World Trade Center di New York dan gedung Pentagon, tingkat rasa keterancaman terhadap bahaya terorisme memuncak. Teror memang mampu membuat kerusakan fisik yang cukup berat, termasuk tentunya kerugian secara ekonomis. Namun, saya juga ingin mengingatkan bahwa selain " bahaya teror " masih ada bahaya lain yang tak kurang daya perusakannya, bahkan mungkin secara tidak langsung dapat menimbulkan korban yang jauh lebih besar, yang saya maksudkan adalah bahaya korupsi. Akibat perilaku korup dari sosok–sosok pejabat tertentu (termasuk sosok–sosok penegak hukum tertentu) selama puluhan tahun di Indonesia, puluhan juta rakyat Indonesia masih tetap berada di bawah garis kemiskinan. Cukup banyak korban yang jatuh akibat kemiskinan itu, di antaranya adalah semakin meningkatnya kriminalitas yang berarti juga semakin meningkatnya korban kriminalitas tersebut. Oleh karena itu, satu diantaranya tiga prioritas utama dalam penegakan hukum di Indonesia adalah penuntasan kasus–kasus korupsi.[54]

 

Faktor yang paling pokok yang menyebabkan Indonesia belum mampu mengoptimalkan penegak hukum adalah faktor sosok penegak hukumnya, contohnya, bukan hanya dikalangan bawah, yaitu kalangan rakyat kecil, tetapi juga dikalangan elit pun mulai santer suara kekecewaan terhadap kinerja sang Jaksa Agung baru. Rakyat yang telah lebih 30 tahun menunggu gebrakan terhadap para koruptor "kelas kakap" kembali kecewa berat, meskipun sempat terhibur selama 32 hari era Jaksa Agung Baharuddin Lopa, Almarhum.[55]

Pengaruh keterpurukan hukum di Indonesia terhadap upaya ekonomi cukup signifikan, paling tidak para investor asing akan lebih memilih untuk mencari. Pasar lain di luar Indonesia jika kondisi hukum di Indonesia sama sekali belum mampu mewujudkan kepastian bagi kaum bisnis, demikian juga dalam suasana keterpurukan hukum terdapat hubungan sibernetik antara keterpurukan hukum, jelas tingkat kepercayaan warga masyarakat yang buruk terhadap Law Enforcement mau tak mau akan menimbulkan dampak negatif seperti peningkatan kriminalitas dan tindakan kekerasan lain. Akibat keterpurukan ekonomi, juga memaksa orang–orang yang terdesak dengan tuntutan kebutuhan hidup karena kemiskinannya melakukan tindak pidana demi menyambung kehidupan.[56]

Masalah peranan dianggap penting, oleh karena pembahasan mengenai penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi. Sebagaimana dikatakan, maka diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peranan. Di dalam penegakan hukum diskresi sangat penting, oleh karena :

1.    Tidak ada perundang–undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia.

2.    Adanya kelambatan–kelambatan untuk menyesuaikan Perundang–undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian.

3.    Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang–undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk Undang– undang.

4.    Adanya kasus–kasus Individual yang memerlukan penanganan secara khusus (La Favre, 1964).[57]

 

            Mengguritanya perbuatan korupsi di Indonesia tidak terlepas dari faktor perangkat hukumnya yang lemah, oleh karena itu pemerintah telah membuat Undang Undang Republik Indonesia No : 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan telah dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai Undang Undang Republik Indonesia No.30 Tahun 2002, diberlakukannya Undang–undang tersebut adalah untuk menanggulangi dan memberantas korupsi, sehingga dengan perangkat Undang-undang tersebut penegak hukum akan dapat maksimal melakukan penegakan hukum sehingga Indonesia di mata dunia bersih dari korupsi.

Dalam menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur yang selalu diperhatikan yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit ) dan keadilan, ketiga unsur tersebut harus menerapkan secara seimbang dalam menegakkan hukum.[58]

 

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkan dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit, bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang : Fiat Justitia Et Pereat Mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang–wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hakim bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat, sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum.[59]

Penegakan hukum dalam Era Reformasi tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa keterkaitan hukum dan penegakan hukum dalam perilaku politik (Political Behavior) tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu negara yang tidak Demokratis dimana transparansi, supremasi hukum, promosi dan perlindungan HAM dikesampingkan.[60]

Penegakan hukum di suatu negara itu sebaiknya kita lihat sebagai suatu proses yang interaktif artinya apa yang dipertontonkan kepada kita sebagai hasil dari penegakan hukum itu janganlah diterima sebagai hasil karya dari pada penegak hukum sendiri, melainkan suatu hasil dari bekerjanya proses saling mempengaruhi di antara berbagai komponen yang terlihat disitu seperti para penegak hukum sendiri, peraturan– peraturan yang ada para anggota masyarakat, sarana fisik yang tersedia dan lain–lainnya lagi. Oleh karena itu membandingkan karya penegakan hukum di Indonesia sebagai negara sedang berkembang ( NSB ) dengan Negeri – Negeri Industri maju adalah kurang pada tempatnya. Hasilnya sebetulnya akan sama saja dengan orang yang terheran – heran, karena di NSB masih banyak penyakit Frambusia, Malaria, TBC sedangkan di Amerika Serikat tidak atau hampir tidak ada. Apakah Dokter di Indonesia ini kurang pintar – pintar ?.

Untuk bisa membuat perbandingan yang baik, tentunya jangan hanya melihat Dokter – dokternya, melainkan juga comberan – comberan yang masih begitu banyak, Sampah – sampah yang tenggorok berjejer memamerkan bagian belakang bawah dari tubuhnya dipinggir – pinggir kali dan lain – lain pameran kemelaratan dan keterbelakangan barulah penilaian menjadi afdhol, oleh karena disini kita juga melihat bekerjanya suatu proses secara interaktif.[61]

Ada pendapat yang keliru, yang cukup meluas berbagai kalangan yaitu bahwa penegak hukum hanyalah kalangan yaitu bahwa penegakan hukum hanyalah melalui proses di Pengadilan, perlu diperhatikan bahwa penegakan hukum dilaksanakan melalui berbagai jalur dengan berbagai sanksi seperti Sanksi Administrasi, Sanksi Perdata dan Sanksi Pidana, dan adapula pendapat yang keliru seolah–olah penegakan hukum adalah semata–mata tanggung jawab aparat penegak hukum, penegakan hukum adalah kewajiban dari  seluruh masyarakat dan untuk itu pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat aktif berperan dalam penegakan hukum.[62]

 

Pendapat Keith Hawkins, yang dikutip oleh Koesnadi Hardjasoemantri, mengemukakan, bahwa penegakan hukum dapat dilihat dari dua sistem atau strategi yang disebut compliance dengan Conciliatory Style sebagai karakteristiknya dan Sanctioning dengan Penal Style sebagai karakteristiknya.[63]

 

C.   HAMBATAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI.

Untuk mewujudkan negara Indonesia yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme , penegakan hukumnya harus   bersih dan adil, yakni lembaga Kepolisian, Kejaksaan maupun Lembaga Pengadilan merupakan institusi terdepan dalam pemberantasan korupsi, dimana tugas pokok dan fungsi lembaga–lembaga tersebut adalah melakukan penegakan hukum termasuk tindak pidana korupsi, namun demikian sering kali Aparatur pemerintah, Institusi–Intitusi tersebut terlibat dengan masalah–masalah korupsi suap atau gratifikasi di lingkungan internalnya. Oleh karena itu permasalah tersebut perlu di atasi karena tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut merupakan salah satu penyebab maraknya korupsi dalam proses Pengadilan.

Menurut Pasal 9 huruf e Undang Undang RI. No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bahwa hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari Eksekutif, Yudikatif atau Legislatif. Dari pasal Undang–undang tersebut memang dalam prakteknya salah satu hambatan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tidak luput dari Intervensi dari oknum Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif, oleh karena itu hal inilah salah satu pertimbangan pembuat Undang–undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga pengambilalihan penyidikan dan penuntutan dalam perkara korupsi diambilalih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (K.P.K).[64]

            Sulitnya mengungkap atau menyeret pelaku tindak pidana korupsi juga diakibatkan kesulitan (gagalnya) Jaksa Penuntut Umum dalam memberikan alat bukti yang dapat meyakinkan hakim, terlebih lagi pengungkapan tindak pidana korupsi memang ruwet yang penanganannya memerlukan konsentrasi dan kecermatan di samping pemahaman yang benar–benar terhadap Undang–undang korupsi. Dengan demikian apabila Jaksa Penuntut Umum tidak memahami hal tersebut akan membuat tindak pidana korupsi sulit dijerat apalagi pintarnya terdakwa menghilangkan jejak.[65]

            Sulitnya memperoleh bukti–bukti dan saksi–saksi dalam mengungkap kasus korupsi sebagai salah satu penyebab pihak Kejaksaan tidak berdaya untuk dapat menyeret pelaku korupsi di depan pengadilan. Pelaku korupsi dan saksi maupun mereka yang terlibat di dalamnya seolah–olah saling menutupi, sehingga pihak Kejaksaan mengalami kesulitan untuk mendapatkan bukti– bukti dan saksi–saksi tersebut berikut data–data yang akurat serta konkret sebagai dasar untuk melakukan penuntutan.[66]

   Dari hasil wawancara Edi Yunara dengan Praktisi Hukum Eddy Anwar Nasution yang juga anggota Assosiasi Advokat Indonesia (A.A.I), mengungkapkan “Adanya KKN antara pelaku korupsi dengan pihak kejaksaan merupakan salah satu penyebab penanganan perkara-perkara korupsi menjadi tidak tuntas dan tidak sampai ke Pengadilan”.[67]

 

            Di tingkat Daerah Provinsi maupun Kota dan Kabupaten di Indonesia terbentuk Musyawarah Pimpinan Daerah (MUSPIDA), pada tingkat Provinsi terdiri dari Gubernur, Kepala Kejaksaan Tinggi, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), pada tingkat Daerah Kabupaten/Kota terdiri dari Walikota/Bupati, Kepala Kepolisian Resort (Kapolres), Kepala Kejaksaan Negeri, dimana para Muspida tersebut sedikitnya setiap bulan mengadakan rapat dan terdapat hubungan emosional dalam pergaulan sehari-hari baik ketika menjalankan pemerintahan maupun dalam keadaan tertentu, dan barang kali bisa unsur Muspida atau penegak hukum dapat bantuan dari Kepala Daerah seperti kendaraan-kendaraan untuk dinas. Secara psykologis hal tersebut dapat mempengaruhi penegakan hukum terhadap pejabat daerah yang melakukan tindak pidana korupsi.

            Penulis berpendapat, pembentukan MUSPIDA ini secara moral dalam penegakan hukum di daerah dan merupakan salah satu hambatan dalam Pemberantasan Korupsi, oleh karena itu penulis berpendapat lebih baik MUSPIDA di tingkat Provinsi maupun Kota/Kabupaten dibubarkan saja, sehingga independensi penyidik Polri dan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif.

            Menurut Anatonni Muliawan dari Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi, hambatan dalam pemberantasan korupsi, antara lain :

a.    Hukum Acara Pidana yang berpihak pada Tersangka/ Terdakwa :

Panjangnya birokrasi yang harus dilalui untuk melakukan penegakan hukum menjadi salah satu kendala dalam upaya pemberantasan korupsi. Diperlukannya ijin untuk melakukan pemeriksaan terhadap Pejabat–pejabat tertentu dan perlunya ijin dari Gubernur Bank Indonesia untuk memperoleh informasi mengenai rekening seorang tersangka tindak pidana korupsi merupakan dua contoh yang sangat relevan untuk dikemukakan.

Sifat dari koruptor adalah kemampuan mereka untuk memanfaatkan kemajuan teknologi perbankan, informasi dan komunikasi. Sehingga panjangnya birokrasi sangat kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi karena akan memberikan rentangan waktu yang cukup bagi para koruptor untuk menyembunyikan maupun melarikan asset–asset negara yang pada akhirnya akan menyulitkan aparat penegak hukum untuk mengembalikan kerugian negara.

 

b.    Lemahnya Koordinasi antara Kepolisian dan Kejaksaan :

Salah satu prinsip utama dalam KUHAP adalah diharapkan terjadinya koordinasi yang harmonis antara penyidik dan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Koordinasi haruslah dilakukan secara intensif karena penyidik adalah rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dan saling mendukung satu sama lain guna keberhasilan penuntut terhadap pelaku tindak pidana.

Pada kenyataannya, koordinasi antara penyidik Kepolisian dengan JPU sering tidak seiring sejalan sebagaimana diharapkan dan berakibat terjadinya bolak–balik berkas perkara dari Penyidik Kepolisian ke JPU dan begitu pula sebaliknya. Akibatnya proses penyidikan dan penuntutan sering kali berjalan sangat lambat dan tidak jarang berakhir dengan diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

   Kelemahan koordinasi sebagaimana diuraikan di atas tidak terjadi di KPK, karena KPK telah menetapkan system koordinasi yang baik antara Penyidik dan Penuntut Umum, sehingga bolak–balik berkas perkara tidak akan terjadi.

 

c.    Minimnya Anggaran Penyidikan dan Penuntutan.

Kejahatan korupsi merupakan “ White collar crime “ (kejahatan kerah putih ) yang menimbulkan kerugian negara dalam jumlah sangat besar dan pelakunya seringkali menggunakan modus operandi yang canggih dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Berbanding terbalik dengan hal tersebut, anggaran negara yang diberikan kepada penyidik dan JPU untuk mengungkapkan kasus – kasus korupsi sangatlah minim. Diperkirakan dana pemerintah hanya mencukupi 30 % dari pengeluaran aktual Polri. Sisanya dibiayai dari Setoran– setoran di luar budget, Usaha–usaha bisnis, sumbangan swasta, bantuan operasional (misalnya saat mengatur lalu lintas sebuah perkawinan), donasi dan dari Lembaga– lembaga yang dijalankan Polri.

Hal tersebut sangat kontra produktif dimana disatu sisi Kepolisian dan Kejaksaan dituntut untuk mampu mengungkap Kasus–kasus korupsi yang bernilai trilyunan rupiah, tetapi di sisi lain Kepolisian dan Kejaksaan tidak diberikan anggaran yang memadai yang pada akhirnya dapat memacu dan memicu para penegak hukum untuk melakukan korupsi.

 

d.    Penegak Hukum belum memahami Tindak Pidana korupsi secara Komprehensif :

Penyebab lain maraknya korupsi dikalangan penegak hukum adalah banyaknya penegak hukum yang belum memahami tindak pidana korupsi secara komprehensif. Aparat penegak hukum kerap kali memahami dirinya sendiri atau orang lain serta merugikan keuangan/perekonomian negara. Pada hal UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan rumusan–rumusan perbuatan–perbuatan lain yang juga termasuk korupsi, seperti penyuapan terhadap Pegawai Negeri atau Hakim ataupun pemberian hadiah kepada Pegawai Negeri.

 

e.    Minimnya Kesejahteraan.

            Besarnya gaji yang tidak sepadan dengan kebutuhan hidup yang riil, beban pekerjaan serta “godaan” yang tinggi karena menangani Kasus–kasus korupsi yang bernilai ratusan juta hingga trilyunan rupiah menjadi hambatan tersendiri. Hambatan ini klasik tetapi tetap tidak disentuh, sehingga tetap menjadi  alasan dan permasalahan ini harus segera diatasi dengan peningkatan kesejahteraan yang mampu mencukupi kebutuhan riil para penegak hukum dan juga dalam rangka memproteksi aparat penegak dari perilaku–perilaku koruptif.[68]

 

            Dalam praktek di lapangan pada dasarnya kendala yang dihadapi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam mengungkap korupsi adalah :

1.    Kendala Yuridis meliputi :   

a.    Masalah pembuktian di Persidangan sering kali saksi– saksi yang diajukan di depan persidangan mencabut kembali pernyataan yang telah diberikan sebagaimana dalam Berita Acara Pemeriksaan ( BAP ) di tingkat penyidikan dengan alasan bahwa saksi sewaktu memberikan pernyataan dalam BAP tersebut berada di bawah tekanan. Selain itu, pada umunya saksi– saksi yang diajukan ke persidangan ternyata mempunyai hubungan kerja dengan terdakwa, yaitu sebagai bawahan dari terdakwa sehingga keterangan yang diberikan cenderung memberi pembelaan/ meringankan bagi terdakwa yang sekaligus merupakan atasannya dalam kerja.

b.    Kerugian negara sebagai unsur dalam tindak pidana korupsi telah dikembalikan oleh terdakwa sehingga dalam hal ini terdakwa tidak lagi bisa dituntut melakukan tindak pidana merugikan keuangan negara. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa terdakwa tidak bisa dijerat/terlepas dari ketentuan Undang–undang korupsi.

c.    Pengungkapan terjadinya tindak pidana korupsi yang relatif lama sehingga membuat kesulitan untuk mendapatkan dan mengumpulkan bukti–bukti yang ada. Dalam hal ini biasanya kasus adanya dugaan korupsi tersebut baru terungkap dan mencuat setelah terdakwa menjalani masa pensiun dari kerja, sedangkan adanya indikasi terjadinya korupsi tersebut sewaktu terdakwa masih aktif bekerja dalam memegang jabatan tertentu.

d.    Diberlakukannya asas oportunitas, dalam hal ini misalnya dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan dari Kejaksaan Agung sehingga Penuntutan perkara korupsi tersebut tidak dapat diteruskan.

 

2.    Kendala Non yuridis Meliputi :

a.    Kejaksaan masuk dalam salah satu unsur Muspida. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1986 tanggal 17 Pebruari 1986 tentang Musyawarah Pimpinan Daerah yang terdiri dari :

1). Kepala Daerah Tk.I (Gubernur ) Pemkot.

2). Kejaksaan Negeri.

3). Kepolisian.

4). Komandan Daerah Militer (Dandim), dan

5).Ketua Pengadilan Negeri selaku Penasehat Muspida.

 

b.    Adanya intervensi dari pihak ketiga. Hal ini terjadi karena adanya kepentingan dari pihak–pihak lain dalam kasus korupsi tersebut sehingga membawa kesulitan bagi Kejaksaan untuk mengungkapkan kasus–kasus korupsi yang masuk.[69]

Penulis sependapat dengan Kendala Non juridis sebagaimana dikemukakan di atas, karena masalah tersebut sebagai salah satu hambatan dalam Pemberantasan Korupsi di Daerah, karena bila terjadi korupsi di Daerah Kabupaten/Kota yang dilakukan oleh seorang Walikota atau Bupati secara moril dan psikologis Penyidik Kejaksaan dalam hal ini Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) atau Penyidik Polri dalam hal ini Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) akan sungkan dan tidak akan menyelidiki dan menyidik kasus korupsi tersebut, sebab mereka adalah sesama unsur Muspida.

            Oleh karena itu Pemerintah sudah saatnya mencabut kembali Keputusan Persiden No. 10 tahun 1986 tanggal 17 Pebruari 1986 tentang Musyawarah Pimpinan Daerah agar pihak Kejaksaan Negeri dan Penyidik Kepolisian Resort (Polres) khususnya tidak terpengaruh secara moral maupun Psikologis untuk mengusut Kepala Daerah yang terlibat melakukan Korupsi. Penulis setuju unsur Muspida dihapuskan, kalau ada hal–hal yang perlu dibahas untuk kepentingan Daerah cukup diadakan rapat–rapat biasa oleh Kepala Daerah bersama–sama Kepala Satuan Kerja yang ada di Daerah tersebut.

 

 

 

            Untuk menghindari masalah hukum dan jeratan pidana dalam melaksanakan perintah jabatan atau perintah atasan oleh bawahan, maka seorang bawahan sebelum menjalankan perintah atasan agar lebih berhati-hati dan melihat apakah perintah atasan itu tidak bertentangan dengan hukum maupun peraturan–peraturan yang ada dan apakah yang memerintah itu dalam lingkup kewenangannya. Apabila bawahan menilai perintah atasan itu melawan hukum dan tidak ada kewenangan yang ada padanya, agar tidak melaksanakan perintah tersebut, dan bawahan harus berani menerima risiko dari atasan, dari pada nantinya berurusan masalah hukum dengan penegak hukum.

 

 

 

 



            [44] Baharuddin Lopa, 2001, Op. Cit.  halaman 85.

            [45] Ibid. halaman 88.

 

                 [46] Sudhono Iswahyudi, Pemberantasan Korupsi pada Era Otonomi Daerah, Majalah Media Hukum Volume 2 No. 11, 12 September 2004.

[47] JR. Saragih Dadjawak, Korupsi dan Tehnik–tehnik penyidik,Direktorat Tindak Pidana Korupsi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI, halaman 18 – 19.

 

                [48] H. Dudu Duswara Machmudin, April 2007, Konsepsi, Visi, Misi dan Strategi Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun ke XXII No. 257,  halaman 26 – 27.

                 [49] Bagir Manan, Nopember 2005, Penegakan Hukum yang Berkeadilan, Majalah Varia Peradilan, Tahun ke XX No. 241, halaman 8.

              [50] M. Jahya Harahap, Mei 1995, Citra penegakan Hukum, Majalah Varia PeradilanTahun X No. 116, halaman 118

              [51] Soerjono Soekanto, 1983, Faktor – faktor yang mempengaruhi hukum, PT. Raja Grafindo Persada,  halaman 5.

              [52] Ibid,  halaman 8.

                 [53] Baharuddin Lopa, 2001, Op. Cit.  halaman 131.

                 [54] Achmad Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia (penyebab dan solusinya) Ghalia Indonesia, Bogor, halaman 52.

                [55] Ibid ,  halaman 53.

                [56] Ibid , halaman 59.

               [57] Soerjono Soekonto, Op. Cit, halaman 21 - 22.

               [58] Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Liberty, Jogjakarta, halaman 145.

             [59] Ibid ,.

                [60] Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, CV. Mandar Maju,  halaman 54.

               [61] Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, halaman 141–142.

               [62] Koesnadi Hardjasoemantri, 2001, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Jogjakarta, halaman 375 – 376.

                [63] Ibid.

                  [64] Undang Undang RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 9 huruf e.

                  [65] Edi Yunara, 2005, Op. Cit.  halaman 69.

                  [66] Ibid.

                  [67] Ibid , halaman 73.

                 [68] Anatorni Muliawan, Kendala dan Tantangan Pemberantasan Korupsi di Peradilan dan peran serta masyarakat, Makalah Seminar Nasional yang diselenggarakan  atas kerja sama Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dengan Yayasan Diponegoro Jawa Tengah, Semarang 27 April 2006, halaman 2.

               [69] Edi Yunara, Op.Cit, halaman 73 – 74.



DAFTAR PUSTAKA

 

A.   Buku

 

Ali, Chaidir, Yurisprudensi Indonesia tentang hukum pidana korupsi, Bandung, 1979.

Abdullah, Mustafa dan Achmad, Ruben, Intisari Hukum Pidana, Jakarta, 2001.

Atmasasmita, Romli, Reformasi Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Penegak Hukum, Jakarta, 2001.

Amiruddin dan Asikin, H.Zainal, Pengantar Metode Penelitian,

Jakarta, 2004.

Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Bogor, 2005.

Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang, 2003.

Djojodirdjo, M.A.Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, 1979.

Dirdjosisworo, Soedjono, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, 1984.

Hamzah, Andi, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Jakarta, 1991.

                           , Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta, 2005.

                           ,  Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta, 2006.

Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Jogjakarta, 2001.

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 2005.

Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggung jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, 2005.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah bagian satu, Balai Lektur Mahasiswa.

Klitgaard, Robert, Abaroa, Ronald dan Parris, H. Lindsey, Penuntutan Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Jakarta, 2002.

Lamintang, P.A.F, Hukum Panitensier Indonesia, Bandung, 1984.

                           ,  Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, 1984.

                           ,  Hukum Pidana Indonesia, Bandung, 1990.

Lopa, Baharuddin, Masalah Korupsi dan Pemecahannya, Jakarta, 1997.

                            , Kejahatan Korupsi dan penegakan Hukum, Jakarta, 2001.

Moeljatno, Delik-delik Percobaan, Delik-delik Penyertaan, Jakarta, 1985.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Jogjakarta, 1995.

                            , Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Jogjakarta, 1999.

Marpaung, Leden, Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, bagian pertama, Jakarta, 1992.

                            , Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, bagian kedua, Jakarta, 1992.

Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi, Bandung, 2000.

Purbacarka, Purnadi dan Soekanto, Soerjono, Perihal Kaidah Hukum, Bandung, 1979.

Pramono, B.S, Pokok-Pokok Pengantar Ilmu Hukum, Usaha Nasional.

 

 

 

Prodjohamidjojo, Martiman, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Jakarta, 1983.

                            , Penerapan Pembuktian terbalik dalam Delik Korupsi, Bandung, 2001.

Rahardjo, Satjipto, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Bandung, 1980.

Saleh, Roeslan, Beberapa Catatan sekitar Perbuatan dan Kesalahan dalam Hukum Pidana, Jakarta, 1985.

Seno Adji, Oemar, Wajah Hukum Pidana Pers, Jakarta, 1989.

Soerodibroto, R. Soenarto, KUHP dan KUHAP dilengkapi jurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta, 1991.

Simanjuntak, Osman, Teknik Penuntutan dan upaya hukum, Jakarta, 1995.

Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung, 1984.

Subagyo, P.Joko, Hukum Lingkungan, Masalah dan Penanggulangannya, Jakarta, 2002.

Suharto, RM, Hukum Pidana Materil, Jakarta, 2002.

Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, 2005.

Utracht, E, Hukum Pidana-I, Bandung, 1960.

Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggung jawaban Pidana Korporasi, Bandung, 2005.

Zainal Abidin, Andi, Hukum Pidana-I, Jakarta, 1983.

 

 

 

 

 

 

B.   Perundang-Undangan

 

Undang-Undang RI.No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang RI.No.28 tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Undang-Undang RI.No.31 tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang RI.No.20 tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang-Undang RI No.31 tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang RI.No.30 tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang RI.No.13 tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Peraturan Pemerintah RI No.105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan pertanggung jawaban Keuangan Daerah.

Keputusan Presiden (Keppres) No.5 tahun 2004, tentang Percepatan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

C.   Majalah dan Makalah

 

Majalah Hukum, Varia Peradilan, tahun X No.116, Mei 1995.

   ,  Varia Peradilan, tahun XVI No.190, Juli 2001.

                         ,    Varia Peradilan, tahun XX No.240, September 2005.

                         ,    Varia Peradilan, tahun XX No.241, Nopember 2005.

                         ,    Varia Peradilan, tahun XXI No.243, Pebruari 2006.

                         ,    Varia Peradilan, tahun XXII No.254, Januari 2007.

                         ,    Varia Peradilan, tahun XII No.257, April 2007.

                         ,    Varia Peradilan, tahun XII No.260, Juli 2007.

                         ,    Varia Peradilan, tahun XII No.261, Agustus 2007.

                         ,    Varia Peradilan, tahun XII No.262, September 2007.

 

Majalah Pledoi, No.50 Volume-I, 2006.

Makalah, Seminar Nasional, Pelaksanaan dan Penerapan Hukum terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 27 April 2006.

Makalah,  Korupsi dan teknik-teknik Penyidikannya, Inspektorat Tindak Pidana Korupsi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI.

Makalah, Seminar Sehari Kontrovensi KPK, menguji Prosedur Penyelidikan, Penyidikan, dan pembuktian KPK ditinjau dari Hukum Acara Pidana, Jakarta, 06 September 2005.

 

 
 
   
 
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free